Selama ini kebanyakan orang selalu berpikir bahwa minum banyak air
lebih baik bagi tubuh daripada kekurangan air atau dehidrasi. Minum
berlebihan justru bertentangan dengan sinyal biologis manusia.
Para atlet juga seringkali banyak minum air saat berolahraga untuk
menjaga asupan cairan tubuhnya. Sayangnya, kebanyakan minum air bisa
berakibat fatal dan mematikan.
Seorang pelari marathon di Inggris bernama Kate Mori mengikuti
perlombaan London Marathon pada tahun 2007. Itu adalah perlombaan
keempat yang pernah ia ikuti.
Saat itu, suhu sedang mencapai puncaknya pada 23,5 derajat Celcius.
Dengan maksud ingin mempertahankan asupan cairan, Mori berusaha meminum
air sesering mungkin setiap berhenti di sepanjang rute.
Pada mil ke-18, Mori merasa tubuhnya kurang sehat namun memaksakan diri
untuk tetap mengikuti perlombaan. Mendekati finish, Mori mulai hilang
kesadaran. Sejam kemudian, ia sudah berada di Royal London Hospital
di Whitechapel dengan menderita diare berat, muntah, kebingungan dan
kakinya bergerak seolah-olah sedang berjalan tanpa henti.
Hasil diagnosa menunjukkan Mori bukan pingsan karena dehidrasi, tapi
karena kelebihan cairan. Dokter menduga Mori meminum sekitar 3 liter
air.
“Selama ini, bahaya dehidrasi selama menjalani olahraga yang
membutuhkan daya tahan prima telah dibesar-besarkan. Seorang atlet perlu
mewaspadai bahwa minum cairan berlebihan sebelum, selama atau setelah
berolahraga dapat berakibat fatal,” kata Timotius Noakes, profesor
ilmu olahraga di University of Cape Town, Afrika Selatan seperti
dilansir The Telegraph, Rabu (28/3/2012).
Tidak ada satu pun laporan medis yang menyatakan bahwa dehidrasi
menjadi penyebab kematian pelari maraton. Tapi, kematian yang disebabkan
minum berlebihan telah mengakibatkan setidaknya 12 kematian. Salah
satu contohnya adalah kematian David Rogers ketika mengikuti lomba
London Marathon pada tahun 2007, kematian seorang pelari maraton wanita
asal AS pada tahun 1993 dan juga kematian pemain sepak bola Amerika,
Paul Allen, pada tahun 2010.
Minum terlalu banyak sebelum, saat atau setelah berolahraga ini menyebabkan timbulnya kondisi berbahaya yang disebut exercise-associated hyponatraemia
(EAH). Terkadang kondisi ini disebut intoksikasi air yang ditandai
dengan rendahnya konsentrasi natrium di dalam darah dan menyebabkan otak
membengkak. Akibatnya penderita menjadi kebingungan, kehilangan
kesadaran dan mengalami kejang.
Gejala EAH pertama kali dicatat oleh Prof Noakes pada tahun 1980-an.
Penyebabnya saat itu diduga karena kebanyakan minum dan baru benar-benar
dipastikan pada tahun 1991.
Profesor Sanjay Sharma, konsultan ahli jantung dari St George
Healthcare NHS Trust, London dan direktur medis London Marathon
memperingatkan bahwa kenaikan suhu menyebabkan orang semakin ingin
minum, terutama karena terpengaruh iklan minuman olahraga.
“Banyak pelari merasa perlu minum air di kapan saja ia bisa, terlepas
dari apakah merasa haus atau tidak. Pelari yang lambat paling berisiko
karena lebih lama berada di lintasan. Biasanya diperlukan waktu empat
jam lebih agar cairan yang berlebihan berkumpul dan menyebabkan EAH,”
kata Prof Sharma.
Panduan International Marathon Medical Directors Association
(IMMDA) yang disusun oleh Prof Noakes pada tahun 2003 menyarankan bahwa
minum air hanya untuk mengatasi haus saja sudah cukup untuk menjaga
keseimbangan cairan tubuh. Minum berlebihan justru bertentangan dengan
sinyal biologis manusia.
American College of Sports Medicine (ACSM) berpendapat bahwa untuk menghindari dehidrasi, atlet tidak boleh kehilangan lebih dari 2% berat badan saat berolahraga.
sumber