Kematian,
di banyak peradaban bangsa-bangsa selalu identik dengan penebar rasa
takut. Jika orangorang yang masih hidup bisa menyatu dengan mereka yang
telah pergi, mungkin inilah tempat paling tepat buat jalan-jalan
mengenal waktu yang akan datang itu.
Jika
hendak ke bukit Muqattam di Kairo, Mesir, akan selalu melewati sebuah
areal yang mirip sebuah kota. Melalui jalan Salah Salem, lalu melewati
taman Al Azhar yang indah, kemudian lewat benteng Salahudin yang
anggun, jalan akan berbelok ke bukit Muqattam. Di kawasan itu terdapat
pemukiman unik yang terlihat di sisi jalan.
Sepintas mirip perumahan biasa. Lengkap dengan pintu berukir, tembok tinggi, dan kamar kamar. Tetapi siapa sangka, ternyata itu adalah kawasan pemakaman amat luas hingga mirip sebuah kota. Panjang kawasan mencapai 4 mile (6,4 km). Orang Mesir menyebutnya madinatul mayyit, atau kota para mayat. Masyarakat menyingkatnya dengan sebutan makober.
Para
turis asing yang datang ke kawasan itu ada yang menyebut City of the
Dead, Cairo Necropolis, Qarafa, atau el-Arafa. Tempat ini terletak di
jantung kota Kairo dan mungkin merupakan satu satunya kawasan perumahan
unik khusus bagi orang yang telah wafat.
Masyarakat Kairo meyakini makober ini sudah ada sejak zaman Amr bin Ash (642 M), panglima yang menaklukkan Mesir. Awalnya cuma makam keluarga, seiring waktu terus meluas. Mulai dari jenazah sultan hingga rakyat biasa, sejak ribuan tahun dimakamkan di makobe
Di
tiap makam, terdapat pintu besi menuju lorong bawah tanah. Pintu besi
ini tidak terlihat (samar). Setiap ada yang wafat, tutup besi dibuka,
kemudian mayat disatukan di dalam lorong bawah tanah itu. Jenazah dari
ribuan tahun hingga sekarang ditumpuk jadi satu.
Pemakaman jenazah baru selalu menimbulkan masalah karena disatukan dengan jenazah yang juga baru masuk. Alhasil, ketika pintu besi dibuka, keluar aroma tak sedap akibat proses pembusukan mayat yang baru terjadi. Kerap, bau tak sedap itu tak kunjung hilang dan kuat menempel di baju pelayat, walaupun sudah dicuci. Bau juga menempel di badan, rambut, dan sekujur tubuh. Kalau hanya mandi sekali, dijamin bau akan setia menempel.
Pemakaman
yang disatukan secara massal itu memang pemakaman umum, untuk rakyat
kebanyakan. Sedangkan makam keluarga kerajaan, ditaruh satu-satu, tidak
dicampur begitu saja. Begitu juga makam para imam, syaikh, dan para
ulama, biasanya disendirikan, bahkan dibangun masjid.
Seperti makam Imam Syafi i, pendiri mahzab yang dianut sebagian besar umat Islam Indonesia, makamnya berada di dalam mesjid Imam Syafi ’i. Lokasinya terpisah dari area city of the dead. Begitu juga makam Zaenab dan Sayyidah Aisyah, cucu dan cicit Nabi Muhammad SAW, bersatu dengan masjidnya masing masing dan terpisah dari kawasan itu.
Selain area untuk muslim, disebelah dan diseberang jalan terdapat area makober untuk yang kristen. Bentuknya sama, dengan bangunan bangunan tinggi dan pintu yang berukir sangat bagus.
Meskipun
namanya kota mayat, banyak orang tinggal di makober dengan menghuni
bangunan makam. Kawasan itu menjadi daerah slum di Kairo. Akibat
urbanisasi, masyarakat desa datang ke kota. Karena tak bisa menjangkau
harga perumahan yang semakin mahal di Kairo, daripada menggelandang,
mending menghuni makam. Diperkirakan, lebih dari 5 juta ribu orang
tinggal di kota mayat. Mereka beraktivitas, berbisnis, dan tidur di
tempat itu. Walaupun ilegal, orang-orang yang tinggal di kawasan itu
tak pernah digusur
Bermacam-macam
aktivitas dijalani. Ada yang bikin kafe, tempat orang ngeteh sambil
menghirup shisha. Para pengunjung tak ada yang merasa risih atau takut
bersantai-santai di kawasan makam. Semua rileks dan amat menikmati
suasana. Malah batu makam dijadikan meja teh.
Ada juga yang buka bengkel mobil. Warga Kairo dan sekitarnya lebih suka memperbaiki kendaraannya di makober karena ongkosnya murah dan montirnya pintar-pintar. Sambil menunggu mobilnya dibetulkan, mereka menghabiskan waktu minum teh dan menghisap shisha.
Makam-makam nyaris tak lagi mirip tempat jenazah. Para penghuni asyik leyeh-leyeh di depan makam. Sementara dari celah pintu makam, terlihat sebuah sofa menghiasi ruang dalam, mirip ruang tamu.
Tempat makam yang ditinggali, umumnya makam orang kaya karena ruangannya luas, seluas masjid. Jadi mereka nyambi juga sebagai juru kunci. Selain bisa menginap gratis, mereka mendapat listrik dari masjid yang terletak tidak jauh dari area makam. Meski ada listrik, sayang kalau malam tak ada lampu penerangan jalan. Jadi meskipun ada penghuninya, orang yang lewat kerap ngebut juga. Mungkin takut berjumpa dengan “penghuni asli” madinatul mayyit.