Berasal
dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara
Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera
Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar
di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender
Islam.
Konon, Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke Pariaman, sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW itu. Karena kemeriahan dan keunikan dalam setiap pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian memasukkan upacara Tabuik dalam agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.
Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara Tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta aneka penganan, kue-kue khas dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang menjalankan ritual khusus, yakni puasa.
Konon, Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke Pariaman, sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW itu. Karena kemeriahan dan keunikan dalam setiap pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian memasukkan upacara Tabuik dalam agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.
Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara Tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta aneka penganan, kue-kue khas dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang menjalankan ritual khusus, yakni puasa.
Selain
sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda yang
menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah dua buah
dan terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang berbadan
kuda, berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. Oleh umatIslam,
binatang ini disebut Buraq dan dianggap sebagai binatang gaib. Di
punggung Tabuik, dibuat sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik
kemudian dihiasi dengan warna merah dan warna lainnya dan akan di arak
nantinya.
2. Makepung, Balap Kerbau Masyarakat Bali.
Kalau
Madura punya Kerapan Sapi, maka Bali memiliki Makepung. Dua tradisi
yang serupa tapi tak sama, namun menjadi tontonan unik yang segar
sekaligus menghibur. yang dalam bahasa Indonesia berarti
berkejar-kejaran, adalah tradisi berupa lomba pacu kerbau yang telah
lama melekat pada masyarakat Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana.
Tradisi ini awalnya hanyalah permainan para petani yang dilakukan di
sela-sela kegiatan membajak sawah di musim panen. Kala itu, mereka
saling beradu cepat dengan memacu kerbau yang dikaitkan pada sebuah
gerobak dan dikendalikan oleh seorang joki.
Makin
lama, kegiatan yang semula iseng itu pun berkembang dan makin
diminati banyak kalangan. Kini, Makepung telah menjadi salah satu
atraksi budaya yang paling menarik dan banyak ditonton oleh wisatawan
termasuk para turis asing. Tak hanya itu, lomba pacu kerbau inipun
telah menjadi agenda tahunan wisata di Bali dan dikelola secara
profesionalSekarang ini, Makepung tidak hanya diikuti oleh kalangan
petani saja. Para pegawai dan pengusaha dari kota pun banyak yang
menjadi peserta maupunsupporter. Apalagi, dalam sebuah pertarungan
besar, Gubernur Cup misalnya, peserta Makepung yang hadir bisa
mencapai sekitar 300 pasang kerbau atau bahkan lebih. Suasana pun
menjadi sangat meriah dengan hadirnya para pemusik jegog(gamelan khas
Bali yang terbuat dari bambu) untuk menyemarakkan suasana lomba.
3. Atraksi Debus Banten
Atraksi
yang sangat berbahaya yang biasa kita kenal dengan sebutan Debus,
Konon kesenian bela diri debus berasal dari daerah al Madad. Semakin
lama seni bela diri ini makin berkembang dan tumbuh besar disemua
kalangan masyarakat banten sebagai seni hiburan untuk masyarakat. Inti
pertunjukan masih sangat kental gerakan silat atau beladiri dan
penggunaan senjata. Kesenian debus banten ini banyak menggunakan dan
memfokuskan di kekebalan seseorang pemain terhadap serangan benda tajam,
dan semacam senjata tajam ini disebut dengan debus.
Kesenian
ini tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu, bersamaan
dengan berkembangnya agama islam di Banten. Pada awalna kesenian ini
mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama, namun pada masa penjajahan
belanda dan pada saat pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa. Seni
beladiri ini digunakan untuk membangkitkan semangat pejuang dan
rakyat banten melawan penjajahan yang dilakukan belanda. Karena pada
saat itu kekuatan sangat tidak berimbang, belanda yang mempunyai
senjata yang sangat lengkap dan canggih. Terus mendesak pejuang dan
rakyat banten, satu satunya senjata yang mereka punya tidak lain
adalah warisan leluhur yaitu seni beladiri debus.
4.Karapan sapi Masyarakat Madura Jawa Timur
Karapan
sapi yang merupakan perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Madura
Jawa Timur, Dalam even karapan sapi para penonton tidak hanya
disuguhi adu cepat sapi dan ketangkasan para jokinya, tetapi sebelum
memulai para pemilik biasanya melakukan ritual arak-arakan sapi
disekelilingi pacuan disertai alat musik seronen perpaduan alat music
khas Madura sehingga membuat acara ini menjadi semakin meriah.
Panjang
rute lintasan karapan sapi tersebut antara 180 sampai dengan 200
meter, yang dapat ditempuh dalam waktu 14 sd 18 detik. Tentu sangat
cepat kecepatan sapi – sapi tersebut, selain kelihaian joki terkadang
bamboo yang digunakan untuk menginjak sang joki melayang diudara
karena cepatnya kecepatan sapi sapi tersebut. Untuk memperoleh dan
menambah kecepatan laju sapi tersebut sang joki, pangkal ekor sapi
dipasangi sabuk yang terdapat penuh paku yang tajam dan sang joki
melecutkan cambuknya yang juga diberi duri tajam kearah bokong sapi.
Tentu saja luka ini akan membuat sapi berlari lebih kencang, tetapi
juga menimbulkan luka disekitar pantat sapi. Jarak pemenang terkadang
selisih sangat tipis, bahkan tidak jarang hanya berjarak 1 sd 2
detik saja. Karapan Sapi dimadura merupakan pagelaran yang sangat
unik, selain sudah diwarisi secara turun menurun tradisi ini juga
terjaga sampai sekarang. Even ini dijadikan sebagai even pariwisata
di Indonesia, dan tidak hanya turis local dari mancanegara pun banyak
yang menyaksikan karapan sapi ini.
5. Upacara Kasada Bromo
Upacara
Kasada bromo dilakukan oleh masyarakat Tengger yang bermukim di
Gunung Bromo Jawa Timur, mereka melakukan ritual ini untuk mengangkat
seorang Tabib atau dukun disetiap desa. Agar mereka dapat diangkat
oleh para tetua adat, mereka harus bisa mengamalkan dan menghafal
mantera mantera. Beberapa hari sebelum Upacara Kasada bromo dimulai,
mereka mengerjakan sesaji sesaji yang nantinya akan dilemparkan ke
Kawah Gunung Bromo. Pada malam ke 14 bulan Kasada Masyarakat tengger
berbondong bondong dengan membawa ongkek yang berisi sesajo dari
berbagai macam hasil pertanian dan ternak. Lalu mereka membawanya ke
Pura dan sambil menunggu Dukun sepuh yang dihormati datang mereka
kembali menghafal dan melafalkan mantera, tepat tengah malam diadakan
pelantikan dukun dan pemberkatan umat dipoten lautan pasir gunung
bromo. Bagi masyarakat Tengger, peranan Dukun adalah sangat penting.
Karena mereka bertugas memimpin acara – acara ritual, perkawinan dll.
Sebelum
lulus mereka diwajibkan lulus ujian dengan cara menghafal dan lancar
dalam membaca mantra mantra. Setelah Upacara selesai, ongkek –
ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas
kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol
pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah
banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal
dipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan
mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka
mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji
berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya
sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil
ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger
pedalaman yang berada dikawah gunung bromo.