Burung Cenderawasih dapat Anda temukan di Indonesia timur, pulau-pulau
selat Torres, Papua Nugini, dan Australia timur. Jenis burung ini
merupakan anggota famili famili Paradisaeidae dari ordo Passeriformes,
dikenal karena bulu burung jantan pada banyak jenisnya, terutama bulu
yang sangat memanjang dan rumit yang tumbuh dari paruh, sayap atau
kepalanya. Ukuran burung cendrawasih mulai dari Cendrawasih Raja pada 50
gram dan 15 cm hingga Cendrawasih Paruh-sabit Hitam pada 110 cm dan
Cendrawasih Manukod Jambul-bergulung pada 430 gram.
Masyarakat di Papua sering memakai bulu cendrawasih dalam pakaian dan
adat mereka, dan beberapa abad yang lalu bulu itu penting untuk dibuat
topi wanita di Eropa.
Perburuan burung cendrawasih untuk diambil bulunya untuk perdagangan
topi marak di akhir abad 19 dan awal abad 20 (Cribb 1997), namun
sekarang burung-burung itu dilindungi dan perburuan hanya dibolehkan
untuk kebutuhan perayaan dari suku setempat.
Burung cendrawasih yang paling terkenal adalah anggota genus Paradisaea,
termasuk spesies tipenya, cendrawasih kuning besar, Paradisaea apoda.
Jenis Paradisaea adalah burung-burung jantan berkumpul untuk bersaing
memperlihatkan keelokannya pada burung betina agar dapat kawin.
Asal Usul Sejarah Burung Cenderawasih
Di Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat, pada zaman dahulu
hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya. Suatu hari, si
perempuan tua dengan anjing kesayangannya sedang mencari makanan di
hutan. Hari itu, mereka harus berjalan cukup jauh karena persediaan
makanan di sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah berjalan
cukup jauh, mereka pun tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh pohon
pandan yang berbuah lebat. Perempuan tua itu pun segera memetik beberapa
buah pandan lalu diberikannya kepada anjingnya yang kelaparan. Anjing
betina itu langsung melahap buah pandan itu hingga badannya terlihat
segar kembali.
Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu merasakan sesuatu
yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Perut anjing betina itu semakin
membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya dalam waktu yang tidak
lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil.
Melihat keajaiban itu, perempuan itu juga bermaksud memakan buah pandan
agar mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya.
“Oh, ajaib sekali buah pandan itu,” kagum perempuan itu, “Aku ingin mencoba buah itu agar aku bisa melahirkan anak.”
Perempuan itu segera memetik buah pandan lalu memakannya. Begitu ia
menelan buah tersebut, perutnya tiba-tiba mengalami hal yang serupa
dengan anjingnya. Dengan perut yang semakin lama semakin membesar, ia
bergegas pulang. Setiba di rumah, ia pun melahirkan seorang anak
laki-laki. Anak itu diberi nama Kweiya.
Sepuluh tahun kemudian, Kweiya tumbuh menjadi dewasa. Kweiya sangat
rajin membantu ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk dijadikan kebun
sayur. Karena hanya menggunakan kapak batu, ia hanya mampu menebang
satu batang pohon setiap hari.
Sementara itu, ibunya hanya bisa membantu membakar daun-daun dari pohon
yang telah rebah. Akibatnya, asap tebal pun mengepul dan membumbung
tinggi ke udara. Tanpa mereka sadari, ternyata asap tebal tersebut telah
menarik perhatian seorang pria tua yang sedang mengail di sebuah
sungai.
“Hai, dari mana asal asap tebal itu? Siapa yang sedang membakar hutan?” gumam pria tua itu.
Oleh karena penasaran, pria tua itu segera mencari sumber asap tebal
tersebut. Setelah menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam, sampailah
ia di tempat asap itu berasal. Di tempat itu ia mendapati seorang pemuda
tampan sedang menebang hutan di bawah terik matahari.
“Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak muda,” sapa pria tua itu, “Siapa kamu dan mengapa menebang hutan di sini?”
“Nama saya Kweiya,” jawab pemuda itu, “Saya ingin membuat kebun untuk membantu ibu saya.”
Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang berbakti kepada
orang tua. Maka, ia pun memberikan kapak besinya kepada Kweiya.
“Kalau begitu, ambillah kapak besi ini,” kata pria tua itu, “Kamu akan lebih cepat menebang pohon.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Kweiya.
Kweiya pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dalam waktu
singkat, ia mampu merobohkan puluhan pohon yang besar. Setelah itu, ia
bergegas pulang untuk menceritakan hasil pekerjaannya kepada ibunya.
Ibunya pun amat heran saat mendengar cerita itu.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon itu, Anakku? Alat apa yang kamu gunakan?” tanya ibunya heran.
Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin merahasiakan pria tua yang telah membantunya itu.
“Aku tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi tangan saya terlalu ringan
mengangkat kapak sehingga dapat menebang pohon dengan cepat,” jawab
Kweiya.
Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya percaya begitu saja. Sementara itu,
Kweiya meminta agar ibunya menyiapkan makanan yang banyak. Rupanya,
Kweiya bermaksud mengajak pria tua itu ikut makan bersama sekaligus
memperkenalkannya kepada ibunya.
“Bu, besok tolong siapkan makanan yang banyak,” pinta Kweiya.
Keesokan harinya, ibu Kweiya pun memasak makanan yang cukup banyak.
Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ketika dalam
perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu dengan
sejumlah pohon tebu yang lengkap dengan daunnya.
Setiba di rumahnya, bungkusan tersebut di letakkan di depan pintu.
Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan seolah-olah merasa sangat haus.
Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan sebatang tebu untuk melepas
rasa dahaganya.
“Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan sebatang tebu di depan pintu itu,” pinta Kweiya.
Ibu Kweiya pun menuruti permintaan anaknya. Alangkah terkejut ia begitu
ia membuka bungkusan itu. Ia mendapati seorang pria tua sedang berbaring
di dalamnya.
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam bungkusan itu?” tanya ibunya heran.
Kweiya tersenyum sera menenangkan hati ibunya.
“Maafkan aku, Bu,’ ucap Kweiya, “Aku tidak bermaksud menakuti-nakuti
Ibu. Sebenarnya, pria tua itulah yang telah menolongku menebang pohon di
hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya sebagai teman hidup!”
Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menerima
permintaan anaknya. Sejak itulah, pria tua itu tinggal bersama mereka.
Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian lagi.
Selang beberapa tahun kemudian, ibu Kweiya melahirkan dua anak laki-laki
dan seorang perempuan dari hasil perkawinannya dengan pria tua itu.
Kweiya pun menganggap ketiga adiknya tersebut sebagai adik kandung.
Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Namun, hubungan persaudaraan
mereka akhirnya menjadi retak karena kedua adik laki-lakinya merasa iri
terhadap Kweiya. Mereka iri karena Kweiya selalu mendapat perhatian
khusus dari ibu mereka.
Suatu hari, ketika kedua orangtua mereka sedang ke kebun, kedua adiknya
mengeroyok Kweiya hingga luka-luka. Meskipun merasa kesal, Kweiya tidak
tega membalas perbuatan kedua adiknya. Ia lebih memilih bersembunyi di
salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali dari kulit binatang
sebanyak mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan dibuat sayap.
Sementara itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari kebun. Ketika
mengetahui Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang ibu pun bertanya
kepada adik-adik Kweiya.
“Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu.
“Tidak tahu, Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya serentak.
Rupanya, mereka takut menceritakan peristiwa perkelahian mereka yang
menyebabkan Kweiya minggat pergi dari rumah. Namun, adik bungsu mereka
yang menyaksikan peristiwa tersebut menceritakannya kepada ibu mereka.
Betapa sedihnya sang ibu saat mendengar cerita putri bungsunya itu. Ia
kemudian berteriak memanggil-manggil Kweiya agar cepat kembali ke rumah.
Namun, bukan Kweiya yang datang, melainkan suara burung yang terdengar.
“Eek.. ek… ek… ek..!” begitu suara burung itu.
Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan pintalan benang
pada ketiaknya lalu melompat ke atas bubungan rumah dan selanjutnya
terbang ke atas salah satu dahan pohon di depan rumah mereka. Rupanya,
Kweiya telah berubah menjadi seekor burung yang amat indah dan bulunya
berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib itu, sang ibu pun menangis
tersedu-sedu sambil meminta benang pintalan kepada Kweiya.
“Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan untukku?” tanyanya.
“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam payung tikar,” jawab Kweiya.
Sang ibu pun segera mengambil pintalan benang itu lalu menyisipkannya pada ketiaknya.
Setelah berubah menjadi burung, ia kemudian mengepak-epakkan sayapnya
lalu terbang menyusul Kweiya yang bertengger di dahan pohon. Konon,
kedua burung yang kini dikenal sebagai burung cenderawasih terlihat
bercakap-cakap dengan kicauan mereka.
“Wong… wong… wong… wong…! Ko… ko… kok… ! Wo-wik!” demikian kicauan mereka yang tidak diketahui maksudnya.
Sejak itulah, burung cenderawasih jantan dan betina sering muncul di
Fak-Fak, Papua Barat, dengan warna berbeda. Oleh masyarakat Onin, burung
cenderawasih jantan yang bulunya cenderung lebih panjang kemudian dalam
bahasa Lha disebut Siangga dan Hanggam Tombor untuk burung cenderawasih
betina.
Kedua adik laki-laki Kweiaya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu hanya
bisa pasrah ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Mereka akhirnya
saling menyalahkan sehingga mereka saling lempar abu tungku. Wajah
mereka pun menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga yang menjadi
warna merah. Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi burung dan
kemudian terbang ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan kakak mereka.
Itulah sebabnya, hutan rimba di Fak-Fak lebih banyak dipenuhi oleh
beragam burung yang kurang menarik dibandingkan dengan burung
cenderawasih.