Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi (“kemenyan Jawa”), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang
dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih
sering dipanggil “orang Jawa” oleh orang Arab, termasuk untuk orang
Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal
nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi (“semuanya Jawa”).
Bangsa-bangsa
Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari
orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang
terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia.
Jazirah Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia
Tenggara dinamai “Hindia Belakang”, sementara kepulauan ini memperoleh
nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu “Insulinde“,
yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (dalam bahasa Latin “insula”
berarti pulau). Nama “Insulinde” ini selanjutnya kurang populer, walau
pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad
ke-20.
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA,
“Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur”)), yang dikelola oleh James
Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana
hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli
etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865),
menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (“Pada
Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan
Melayu-Polinesia”). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah
tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk
memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (“nesos”
dalam bahasa Yunani berarti “pulau”). Pada halaman 71 artikelnya itu
tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
“… Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi “Orang Indunesia” atau “Orang Malayunesia”“.
Earl sendiri
menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada
Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras
Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan
Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan
Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh
kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah
Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago (“Etnologi
dari Kepulauan Hindia”). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan
perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago (“Kepulauan Hindia”) terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama
kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254
dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
“Mr
Earl menyarankan istilah etnografi “Indunesian”, tetapi menolaknya dan
mendukung “Malayunesian”. Saya lebih suka istilah geografis murni
“Indonesia”, yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau
Hindia atau Kepulauan Hindia”
Ketika mengusulkan
nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari
nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten
menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat
laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang
etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (“Indonesia
atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu”) sebanyak lima volume, yang
memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun
1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah
“Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan
bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak
benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indiëtahun
1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari
tulisan-tulisan Logan.Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah
“Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika
dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers
dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk “Indonesia”) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (“Hindia”) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (“pribumi”) diganti dengan Indonesiër (“orang Indonesia”).
Politik
Pada
dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam
etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna
politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan.
Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap
pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah
Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia
di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische
Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada
tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama
menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten
Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij).
Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama
“Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah
air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal
28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan
Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho
Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada
Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Permohonan ini ditolak.
Dengan pendudukan
Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia-Belanda”. Pada
tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan,
lahirlah Republik Indonesia.Sumber: