Sejarah perumusan Pancasila ini
berawal dari pemberian janji kemerdekaan di kemudian hari kepada
bangsa Indonesia oleh Perdana Menteri Jepang saat itu, Kuniaki Koiso (國昭 小磯 atau 国昭 小磯) pada tanggal 7 September 1944. Lalu, pemerintah Jepang membentuk BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 1
Maret 1945 (2605, tahun Showa 20) yang bertujuan untuk mempelajari
hal-hal yang berhubungan dengan tata pemerintahan Indonesia Merdeka.
Organisasi yang
beranggotakan 74 orang (67 orang Indonesia, 7 orang Jepang) ini
mengadakan sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945 - 1 Juni 1945
untuk merumuskan falsafah dasar negara bagi negara Indonesia. Selama
tiga hari itu tiga orang, yaitu, Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno,
menyumbangkan pemikiran mereka bagi dasar negara Indonesia.
Dalam
pidato singkatnya hari pertama, Muhammad Yamin mengemukakan 5 asas
bagi negara Indonesia Merdeka, yaitu kebangsaan, kemanusiaan,
ketuhanan, kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Soepomo pada hari
kedua juga mengusulkan 5 asas, yaitu persatuan, kekeluargaan, mufakat
dan demokrasi, musyawarah, dan keadilan sosial. Pada hari ketiga,
Soekarno mengusulkan juga 5 asas. Kelima asas itu, kebangsaan
Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, persatuan dan
kesatuan, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang Maha Esa, yang pada
akhir pidatonya Soekarno menambahkan bahwa kelima asas tersebut
merupakan satu kesatuan utuh yang disebut dengan Pancasila, diterima
dengan baik oleh peserta sidang. Oleh karena itu, tanggal 1 Juni 1945 diketahui sebagai hari lahirnya pancasila.
Pada
tanggal 17 Agustus 1945, setelah upacara proklamasi kemerdekaan,
datang berberapa utusan dari wilayah Indonesia Bagian Timur. Berberapa utusan tersebut adalah sebagai berikut:
Sam Ratulangi, wakil dari Sulawesi
Tadjoedin Noor dan Ir. Pangeran Noor, wakil dari Kalimantan
I Ketut Pudja, wakil dari Nusa Tenggara
Latu Harhary, wakil dari Maluku.
Mereka semua berkeberatan dan mengemukakan pendapat tentang bagian kalimat dalam rancangan Pembukaan UUD yang juga merupakan sila pertama Pancasila sebelumnya, yang berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Tadjoedin Noor dan Ir. Pangeran Noor, wakil dari Kalimantan
I Ketut Pudja, wakil dari Nusa Tenggara
Latu Harhary, wakil dari Maluku.
Mereka semua berkeberatan dan mengemukakan pendapat tentang bagian kalimat dalam rancangan Pembukaan UUD yang juga merupakan sila pertama Pancasila sebelumnya, yang berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Pada
Sidang PPKI I, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Hatta lalu
mengusulkan mengubah tujuh kata tersebut menjadi "Ketuhanan Yang Maha
Esa". Pengubahan kalimat ini telah dikonsultasikan sebelumnya oleh Hatta
dengan 4 orang tokoh Islam, yaitu Kasman Singodimejo, Wahid Hasyim,
Ki Bagus Hadikusumo, dan Teuku M. Hasan. Mereka menyetujui perubahan
kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuan bangsa. Dan akhirnya
bersamaan dengan penetapan rancangan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945
pada Sidang PPKI I tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila pun ditetapkan
sebagai dasar negara Indonesia.