Kamis, 09 Agustus 2012

Kanker Otak Itu Karena Kekurangan Perhatian

Ini sejatinya aib dalam karier saya sebagai (mantan) mahasiswa farmasi. Tapi berhubung kejadiannya sudah lima tahun silam, mungkin nggak ada salahnya saya tuliskan disini. Siapa tahu bisa menjadi pelajaran bagi rekan Kompasianer sekalian.
Saya join di beberapa komunitas waktu kuliah, dan salah satunya sangat komunal. Nah, suatu kali ada kabar berita bahwa teman di komunitas ini ada yang menderita KANKER OTAK stadium 3. Ada tambahan embel-embel muntah darah dan dia punya golongan darah AB rhesus (-).
Mendengar kabar ini, entah kenapa, saya langsung prihatin. Tanpa memperhatikan data-data medis yang relevan. Atau jangankan medis, data-data tampak fisik juga saya abai.
Suatu kali dapat SMS, bilang kalau teman ini habis muntah darah di kosnya. Berbondong-bondong datangnya rekan sekomunitas. Saya memang agak telat, jadi yang tak dapati disana tampak kalau si teman ini senyum-senyum saja. Saya hanya diceritain sama teman yang sudah lama disana kalau muntah darah itu benar adanya.
Saya juga diperlihatkan kotak obat yang isinya buanyaaakkk obat. Dan bodohnya, karena kadung prihatin, saya bahkan nggak berniat iseng untuk sekadar mengecek obat-obat itu merk apa saja.
Berikutnya, si teman ini dikabarkan masuk rumah sakit. Komunitas tercinta saya kemudian menghelat daftar jaga karena anak ini anak kos. Nggak ada yang jaga. Dan katanya keluarganya (paman atau siapa gitu) abai dengan kondisi anak ini meski satu kota.
Dan terakhir, ia bilang butuh transfusi darah dengan golongan AB rhesus negatif.
Saya lantas sibuk dengan skripsi, sampai kemudian tahu, semuanya itu adalah…
KEBOHONGAN!
Yah, anak ini tidak menderita apa-apa. Ia hanya kekurangan perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Pantas saja dia senyum lebar ketika di kosnya ada banyak orang yang memperhatikan. Ah, halah..
Dan kemudian saya baru menyadari fakta-fakta medis yang terjadi. Seorang teman sesama calon apoteker pernah minta tolong hasil scan, tapi nggak pernah diberi dengan berbagai alasan. Lalu, obat-obatannya, kemudian saya kenali di hari lain sebagai obat batuk, obat mual, hingga vitamin-vitamin. Saya nggak ngeh merk, tapi ngeh bentuk.
Tapi yang bikin sebel sedunia adalah pengumuman donor AB negatif ini sudah menyebar. Dan yang bikin saya geleng-geleng, bahkan menyebar hingga BELANDA. Saya tahu dari seorang kenalan yang tinggal disana. Saya sendiri juga sempat nyari sampai ke Pekanbaru, kontak dengan kenalan disana.
Well, pemilihan AB yang notabene termasuk jarang sudah oke. Lalu rhesus negatif pula, which is di Indonesia ini rerata adalah rhesus positif. Jadi teman ini benar-benar mempersiapkan segala sesuatu untuk mengkondisikan ia sebagai penderita kanker otak.
Kadang memang kita mudah tertutup oleh model belas kasihan. Apalagi kabar sebesar kanker otak, ternyata bisa membutakan orang yang harusnya ngerti macam saya. Waktu itu saya semester 6, sudah belajar farmakoterapi cancer, dan saya nggak ngeh sama sekali soal segala yang janggal itu.
Jadi begitulah, bukan berarti kita harus curiga pada setiap keluhan-keluhan dari orang lain. Tapi nyatanya ada yang berlaku demikian. Prihatin tidak masalah, peduli juga nggak salah. Dan kita yang peduli dan prihatin ya nggak salah juga. Paling sebel doang, kok gue ditipu abis gini. Mana anak farmasi pula. Haduh hiyunggg..
Sekadar cerita..[kompasiana.com]