Ini sejatinya aib dalam karier saya sebagai (mantan) mahasiswa
farmasi. Tapi berhubung kejadiannya sudah lima tahun silam, mungkin
nggak ada salahnya saya tuliskan disini. Siapa tahu bisa menjadi
pelajaran bagi rekan Kompasianer sekalian.
Saya join di beberapa komunitas waktu kuliah, dan salah satunya sangat
komunal. Nah, suatu kali ada kabar berita bahwa teman di komunitas ini
ada yang menderita KANKER OTAK stadium 3. Ada tambahan embel-embel
muntah darah dan dia punya golongan darah AB rhesus (-).
Mendengar kabar ini, entah kenapa, saya langsung prihatin. Tanpa
memperhatikan data-data medis yang relevan. Atau jangankan medis,
data-data tampak fisik juga saya abai.
Suatu kali dapat SMS, bilang kalau teman ini habis muntah darah di
kosnya. Berbondong-bondong datangnya rekan sekomunitas. Saya memang agak
telat, jadi yang tak dapati disana tampak kalau si teman ini
senyum-senyum saja. Saya hanya diceritain sama teman yang sudah lama
disana kalau muntah darah itu benar adanya.
Saya juga diperlihatkan kotak obat yang isinya buanyaaakkk obat. Dan
bodohnya, karena kadung prihatin, saya bahkan nggak berniat iseng untuk
sekadar mengecek obat-obat itu merk apa saja.
Berikutnya, si teman ini dikabarkan masuk rumah sakit. Komunitas
tercinta saya kemudian menghelat daftar jaga karena anak ini anak kos.
Nggak ada yang jaga. Dan katanya keluarganya (paman atau siapa gitu)
abai dengan kondisi anak ini meski satu kota.
Dan terakhir, ia bilang butuh transfusi darah dengan golongan AB rhesus negatif.
Saya lantas sibuk dengan skripsi, sampai kemudian tahu, semuanya itu adalah…
KEBOHONGAN!
Yah, anak ini tidak menderita apa-apa. Ia hanya kekurangan perhatian
dari orang-orang di sekitarnya. Pantas saja dia senyum lebar ketika di
kosnya ada banyak orang yang memperhatikan. Ah, halah..
Dan kemudian saya baru menyadari fakta-fakta medis yang terjadi. Seorang
teman sesama calon apoteker pernah minta tolong hasil scan, tapi nggak
pernah diberi dengan berbagai alasan. Lalu, obat-obatannya, kemudian
saya kenali di hari lain sebagai obat batuk, obat mual, hingga
vitamin-vitamin. Saya nggak ngeh merk, tapi ngeh bentuk.
Tapi yang bikin sebel sedunia adalah pengumuman donor AB negatif ini
sudah menyebar. Dan yang bikin saya geleng-geleng, bahkan menyebar
hingga BELANDA. Saya tahu dari seorang kenalan yang tinggal disana. Saya
sendiri juga sempat nyari sampai ke Pekanbaru, kontak dengan kenalan
disana.
Well, pemilihan AB yang notabene termasuk jarang sudah oke. Lalu rhesus
negatif pula, which is di Indonesia ini rerata adalah rhesus positif.
Jadi teman ini benar-benar mempersiapkan segala sesuatu untuk
mengkondisikan ia sebagai penderita kanker otak.
Kadang memang kita mudah tertutup oleh model belas kasihan. Apalagi
kabar sebesar kanker otak, ternyata bisa membutakan orang yang harusnya
ngerti macam saya. Waktu itu saya semester 6, sudah belajar
farmakoterapi cancer, dan saya nggak ngeh sama sekali soal segala yang
janggal itu.
Jadi begitulah, bukan berarti kita harus curiga pada setiap
keluhan-keluhan dari orang lain. Tapi nyatanya ada yang berlaku
demikian. Prihatin tidak masalah, peduli juga nggak salah. Dan kita yang
peduli dan prihatin ya nggak salah juga. Paling sebel doang, kok gue
ditipu abis gini. Mana anak farmasi pula. Haduh hiyunggg..
Sekadar cerita..[kompasiana.com]