Walau sudah zaman teknologi tinggi, masih saja ada orang tewas hanya
gara-gara tersambar petir. Fenomena alam ini rupanya tak pilih korban.
Tak hanya anak desa, seorang pejabat di Batam pun pernah roboh
tersambar. Awas, di musim hujan ini “mereka” tengah gentayangan
mengincar korban.
Fenomena Alam Pencabut Nyawa
Kedengarannya memang ironis. Walau sebentar lagi umat manusia akan
memasuki era millennium ketiga yang amat sarat dengan teknologi dan
kebudayaan tinggi, masih saja ada tragedi yang mengingatkan kita pada
zaman para dewa. Dahulu kala, menurut legenda Yunani, konon Bumi ini
dikuasai sejumlah dewa, di antaranya adalah Zeus, Dewa Petir. Ia bisa
menghukum siapa saja dengan petir yang bisa dilecut dari tangannya.
Tiada ampun bagi korbannya.
Begitulah legenda. Namun lepas dari semua itu, kasus orang tersambar
petir ternyata masih terjadi pada masa yang telah begitu modern ini.
Terlebih naif sendiri, setelah lebih dari empat abad Benjamin Franklin
menaklukkan petir dengan layang-layang yang digantungi kunci itu. Dalam
hal ini, para pembaca budiman mungkin masih ingat dengan musibah yang
dialami seorang pejabat di Batam beberapa tahun lalu ketika sedang
mengayunkan stick golf-nya. Tanpa dinyana ia langsung roboh setelah
sebuah petir menyambarnya.
Selain itu, tentunya masih segar dalam ingatan kita betapa menyedihkan
nasib tiga dari delapan anak dari Kampung Parigi Kecamatan Pondok Aren,
Tangerang, Jawa Barat, yang pada suatu sore (9/10) tengah bermain di
sebuah persawahan. Mereka tewas seketika dengan tubuh hangus, juga
akibat sambaran petir. Sore itu, seperti biasa mereka berhamburan
meneduh ke sebuah gubuk yang ada di tengah persawahan begitu hujan
tiba-tiba turun. Mereka pun tak pernah menaruh syak wasangka ketika
petir mulai menyambar-nyambar, hingga suatu ketika sebuah di antaranya
“terkirim” tepat mengenai gubuk tempat mereka meneduh. Rohmin, Uslani,
dan Solihin langsung terjungkal tewas dengan tubuh hangus terbakar.
(Kompas, 12/10)
Di rumah sakit Ashobirin, selagi masih dirawat akibat shock, Usriandi
kakak Uslani yang sama-sama ikut berteduh di gubuk nahas itu,
menceritakan kegetiran yang terjadi. "Ketika itu hujan memang deras.
Tiba-tiba saja petir menyambar dan saya segera tak sadarkan diri."
Umumnya petir-petir pencabut nyawa ini memang mengincar korban yang
tengah “bercanda” di wilayah datar yang terbuka. Di negara yang sudah
terbilang maju sekalipun, seperti di Inggris, kasus petir makan korban
juga masih terjadi. Salah satu kasus terjadi pada 14 September beberapa
tahun lalu. Ketika itu seorang pria dewasa yang tengah melintas Taman
Finsbury, London, tiba-tiba terpental ketika sebuah petir menyambarnya.
Seperti juga korban lainnya, ia tewas seketika dengan tubuh terbakar.
Terdorong rasa ingin tahu yang mendalam, seorang fisikawan lalu
melakukan penelitian terhadap tubuh korban. Menurut pengamatannya, pola
lintasan arus listrik yang begitu tinggi dari sang petir nampak
mengikuti jalur pembuluh darah vena. "Lintasannya mulai dari leher atas
bahu sebelah kanan lalu melintas dada hingga rongga perut depan bagian
bawah. Pola yang terjadi memang tak selalu demikian, namun nampaknya
listrik petir mencari bagian tubuh yang memiliki resistensi rendah,"
ujarnya.
1.000.000 Volt
Menurut batasan fisika, petir adalah lompatan bunga api raksasa antara
dua massa dengan medan listrik berbeda. Prinsip dasarnya kira-kira sama
dengan lompatan api pada busi. Di alam sekitar kita, petir biasa terjadi
pada awan yang tengah membesar menuju awan badai (Cumulonimbus).
Sedemikian raksasanya sampai-sampai ketika petir itu melesat, tubuh awan
akan terang dibuatnya. Dan, sebagai akibat udara yang terbelah,
sambarannya yang rata-rata memiliki kecepatan 150.000 km/detik itu juga
akan menimbulkan suara yang menggelegar, bunyi yang kemudian biasa kita
sebut geluduk, guntur, atau halilintar. Dalam musim penghujan seperti
saat inilah awan-awan jenis ini banyak terbentuk.
Di lain kesempatan, ketika akumulasi muatan listrik dalam awan tersebut
telah membesar dan stabil, lompatan listrik (eletric discharge) yang
terjadi pun akan merambah massa bermedan listrik lainnya, dalam hal ini
adalah Bumi. Penghubung yang “digemari”, merujuk Hukum Faraday, tak lain
adalah bangunan, pohon, atau tiang-tiang metal berujung lancip.
Memang belum pernah ada ilmuwan yang pernah menekuni langsung bagaimana
terjadinya fenomena alam ini. Namun, mereka menduga hingga lompatan
bunga api listriknya sendiri terjadi, ada beberapa tahapan yang biasanya
dilalui. Pertama adalah pemampatan muatan listrik pada awan
bersangkutan. Umumnya, akan menumpuk di bagian paling atas awan adalah
listrik muatan negatif; di bagian tengah adalah listrik bermuatan
positif, sementara di bagian dasar adalah muatan negatif yang berbaur
dengan muatan positif. Pada bagian bawah inilah petir biasa berlontaran.
Besar medan listrik minimal yang memungkinkan terpicunya petir ini
adalah sekitar 1.000.000 volt per meter. Bayangkan betapa mengerikannya
jika lompatan bunga api ini mengenai tubuh makhluk hidup!
Akibat kondisi tertentu, Bumi yang cenderung menjadi peredam listrik
statis, bisa pula ikut berinteraksi. Hal ini dimungkinkan jika pada
suatu luasan tertentu terjadi pengkonsentrasian listrik bermuatan
positif. Apakah itu di bawah bangunan atau pohon. Ketika beda muatan
antara dasar awan dengan ujung bangunan/pohon sudah mencapai batas
tertentu, akan menjadi suatu kejadian lumrah jika kemudian terjadi
perpindahan listrik. Maka secara fisik kita akan melihatnya sebagai
petir menyambar bangunan atau pohon. Muatan yang begitu besar
selanjutnya akan segera menyebar ke seluruh bagian bangunan/pohon, untuk
kemudian menjalar ke tanah dan ternetralisasi pada kedalaman yang
mengandung air tanah.
Kondisi seperti itu sudah pasti amat berbahaya bagi orang-orang yang ada
di sekitarnya. Jika sambarannya tak terlampau kuat, korbannya paling
hanya mengalami cedera dan/atau shock. Namun jika serangannya kuat,
seperti dialami tiga orang anak dari Kampung Parigi itu, korbannya akan
tewas seketika karena selain terbakar ia akan menjadi “penghantar”
listrik yang besarnya mencapai ribuan volt.
Kemajuan teknologi sebenarnya telah memungkinkan cara-cara pengendalian
arus listrik yang begitu besar dari langit itu. Yakni, dengan penangkal
petir di mana arus listrik yang begitu besar ditangkap sebuah atau
sejumlah pucuk tembaga runcing lalu dialirkan lewat “jalan tol” berupa
kawat tembaga yang terpasang di sisi bangunan dan langsung dibawa menuju
air tanah.
Menurut penelitian, daerah serbuan petir sendiri tak selamanya merupakan
daerah yang dinaungi awan-awan besar. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa
suatu daerah pernah mendapat sambaran petir hebat meski langit di
atasnya bersih dari awan. Contoh paling ekstrem yang pernah dicatat
terjadi di Hereford, Inggris. Suatu ketika sebuah petir kuat menyerbu
sebuah gedung setelah petir ini menempuh perjalanan sekitar lima mil
dari “pusatnya”. Dari kejauhan sejumlah saksi melihatnya sebagai
pemandangan yang begitu indah sekaligus mengerikan. (Handbook of Unusual
Natural Phenomena, 1986).
Itu sebabnya di musim hujan kita lebih baik tak usah bermain-main di
wilayah terbuka atau bernaung di bawah pohon pada saat hujan. Ini
semata-mata untuk menghindar dari kemungkinan yang tak diinginkan.
Sebab, kita tak pernah bisa menduga apakah tanah yang sedang kita pijak
telah berpotensi menjadi penarik petir atau tidak.
sumber