Sebuah budaya materi
saat dipandang sebatas dalam kacamata Fungsi teknis sah-sah saja dan hal
ini memang berkembang pada awal-awal perkembangan metode penelitian
untuk memaknai sebuah budaya materi sebagai hasil dari kreativitas
manusia. Maka dalam istilah ilmu arkeologi muncul teknofak artinya si
peneliti melihat obyek kajian budaya materi dalam kacamata benda sebagai
fungsi teknis (prof Timbol, 2001). Contohnya seorang peneliti ketika
melihat sepeda motor, kemudian ia menyimpulkan bahwa sepeda motor
memiliki fungsi sebagai katalisator perkembangan peradaban manusia.
Tentu hal ini bukanlah sebuah kesimpulan yang salah. Perkembangan cara
berfikir manusia, selanjutnya menambah khasanah penafsiran terhadap
budaya materi sehingga muncul apa yang telah diklasifikasikan oleh
Binford and White dengan teknofak, ideofak dan sosiofak yaitu dua
terakhir adalah sebagai tambahan sebuah cara pandang terhadap budaya
materi yang dikaitkan dengan ideologi dan konteks fungsi sosial.
Misalnya ideofak ketika seorang peneliti menerjemahkan fungsi benda
kaitanya dengan ideologi tertentu, misalnya Al-Quran, atau Salib.
Sedangkan Sosiofak sering dicontohkan perhiasan emas yang kemudian
ditafsirkan sebagai symbol tingkatan kelas sosial tertentu.
Cara
pandang ini kaitanya untuk mempermudah pembacaan sebuah fenomena budaya
materi, yang menjadi salah satu jalan untuk membaca realitas sosial
masyarakat yang mempunyai hubungan dengan materi tersebut. Alasan yang
logis kaitanya dengan pertanyaan mengapa budaya materi menjadi salah
satu jalan alternative dalam pembacaan realitas ini? Hal yang sering
diungkapkan oleh para ahli materialism adalah bahwa materi adalah sebuah
hasil ekspresi manusia yang mampu menggambarkan pra-kondisi,
saat-kondisi, dan pasca-kondisi si pembuat benda materi ini, sehingga
mampu memperlihatkan sebuah rangkaian proses berfikir si pembuatnya.
Penjelasan lainya benda materi adalah salah satu wujud apresiasi manusia
dalam berhubungan dengan realitas lingkunganya baik itu dengan Tuhan,
alam, dan sesama manusia sehingga cukup relevan untuk membantu
mengungkapkan isi pikiran manusia yang membuat benda tersebut. Sedikit
penjelasan diatas kiranya akan cukup sebagai alasan kita membaca
realitas sosial menggunakan jalur budaya materi.
Budaya
materi yang akan kita bahas adalah kerudung, yang menjadi salah satu
budaya materi yang mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam
konteks cara pandang si pembuat dan pemakainya, dan berakibat pada
perubahan makna dan model kerudung itu sendiri. Sehingga menurut hemat
penulis dengan kerudung itu sendiri akan cukup menjelaskan cara pandang
masyarakat pendukung budaya kerudung ini.
Sejarah dan Perkembangan Kerudung
Kerudung
awalnya adalah sebuah benda yang kemunculanya akibat dari dorongan
syaraiat, artinya munculnya ide budaya materi kerudung adalah berasal
dari hukum Alloh yang jelas, sudah diberi definisi dan ketentuan apa
yang dimaksud, dan dalam kadar seperti apa sesuatu bisa disebut sebagai
sebuah kerudung (Al ~ Qur'an surat An - Nur (24): 31). Sehingga
manusia tinggal memahami kemudian mewujudkanya. Dalam konteks ini,
penulis menafsirkan awalnya kerudung masih sebatas sebagai fungsi
teknis, artinya baru sebatas sebagai sebuah benda yang memiliki fungsi
untuk menutupi bagian tubuh yang dilarang untuk dilihat oleh orang lain,
untuk menghindari maksiat bagi yang melihat( Al ~ Qur'an surat Al - Ahzab (33): 59).
Kemudian fungsi kerudung tidak hanya sebatas sebagai fungsi teknis
saja. Karena dalil tidak sebatas itu dalam memerintah, akan tetapi
kerudung juga sebagai sebuah identitas bagi si pemakainya. akibatnya
masyarakat Arap yang memakai kerudung sesuai syariat memiliki identitas
sosial baru, yaitu sebagai seorang wanita muslim yang dihormati dan
lelaki segan dan tidak menggangu, demikianlah catatan sejarah berkata.
Sehingga jika kerudung dikaitkan sebagai sebuah identitas sosial
kaitanya dengan keagamaan, maka pembacaan kerudung berkembang lagi,
tidak hanya sebatas teknofak, dan sosiofak akan tetapi fungsi ideofak
otomatis juga melekat karena kerudung adalah bagian dari syariat agama
islam, yang tak lain islam sebagai sebuah ideologi bagi sebagaian
manusia dimuka bumi ini.
Abad ke 7 adalah abad dimana awal perintah berkerudung,
dalam konteks abad ke 7 di semenanjung Arabia, kondisi sosial masyarakat
jauh dari pengaruh peradaban dua imperium besar yaitu Romawi dan
Persia.(lihat: sejarah Muhammad, M Husein Haekal) Hal ini sebagai dampak
dari geomorfologi Arab yang terpencil dan terkukung dari pegunungan dan
padang pasir, hal ini berdampak pada pengaruh budaya yang cukup kecil
terjadi, sehingga apa yang dikembangkan oleh masyarakat masih sesuai
dengan doktrin yang ada di lingkungan masyarakat Arab. Kerudung sebagai
sebuah hasil pemahaman atas dalil agama juga belum mengalami perubahan
akibat pengaruh dua pusat kebudayaan dan masih sesuai dengan makna, dan
ketentuanya, yang dimaksud disini sesuai dengan dalil adalah kerudung
berarti: kain penutup kepala sehingga kain menjulur hingga dada. Hal ini
dapat ditarik sebuah pengetian bahwa masyarakat pendukung kebudayaan
kerudung pada awalnya masih memegang teguh ketentuan-ketentuan dalil
tentang kerudung, dan belum terfikirkan untuk merubah makna kerudung.
Pasca islam pada abad ke 9-12 mengalami perkembangan dan persebaran
mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainya, misalnya di sebagaian
Negara timur-tengah berkembang model kerudung dengan cadar, burqa,
niqop, dan masker, kemudian berkembang pula di Nusantara atau Melayu
abad 19 kerudung selendang yang tidak menutupi penuh kepala, dan hanya
di selampirkan. di kawasan timur juga berkembang kerudung dengan motif
hiasan tertentu sesuai dengan konteks lingkunganya, tidak sebatas polos
tanpa motif, dan lain sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah
perkembangan dalam berupaya untuk menafsiakan kerudung. Faktorya tentu
banyak, hal ini terkait dengan kondisi sosial budaya, lingkungan, dan
pemahaman atas dalil agama.
Singkatnya dalam konteks kondisi sosial-budaya misalnya:
pendapat yang masih menjadi perdebatan para ahli, bahwa khusunya di Jawa
pada abad 19, masih sedikit masyarakat yang memakai kerudung sesuai
ketentuan dalil, hanya sebatas selendang yang diselampirkan di kepala,
hal ini sebagaian berpendapat bahwa, hal ini sebagai dampak pola
penyebaran agama islam yang dilakukan oleh Wali Songo, yang sangat
toleran dengan budaya lokal, sehingga pada waktu itu Wali Songo baru
menyampaikan masalah Teologis belum sampai pada masalah fiqih kerudung,
karena menyadari bahwa hal ini akan merubah budaya berpakaian masyarakat
jawa yang sangat mencolok. Contoh lain dalam konteks kondisi lingkungan
alam: misalnya pada masyarakat di Melayu, yang memakai kerudung dengan
bahan dan motif yang lebih variatif, hal ini menggambarkan kondisi bahan
baku kerudung, yang sesuai dengan kondisi sumber daya alam masyarakat
pendukungnya. Dan contoh yang terakhir adalah perubahan kerudung karena
pemahaman dalil agama yang menyebabkan berubahanya kerudung. Misalnya
saja Cadar yang masih menjadi perdebatan para ulama dalam hal
keharusanya memakai.
Dari semua proses dari awal pemahaman manusia atas dalil
agama yang menyebutkan keharusan berkerudung, hingga abad selanjutnya
dalam proses perubahan kerudung dapat dimaknai bahwa manusia pendukung
budaya materi kerudung memiliki pola fikir pada dimensi kerudung sebagai
sebuah benda materi sacral, karena ini adalah perintah Alloh, sehingga
tidak ada inovasi yang berarti, jika ada hal ini disebabkan karena
factor-faktor yang sebenarnya bukan melenceng dari anggapan kesakralan
itu sendiri, ini hanya terkait dengan factor teknis saja, belum beranjak
pada masalah pergeseran ideologi.
Memaknai Fenomena Perubahan Budaya Materi: Kerudung Kreatif
Yang
dimaksud Kerudung Kreatif dalam hal ini adalah sebuah kerudung yang
penulis anggap hilang dari sisi nilai-nilai ideologis sebagai dasar
kemunculnya, dan bergeser yang lebih menonjol pada sisi gaya hidup atau
sebuah mode. Sehingga kerudung disini mengalami pergeseran makna, dari
sacral menjadi profane. Kerudung kreatif hari ini juga telah menjadi
symbol-simbol lapisan sosial, tentusaja maksud penulis bukan sebatas
symbol lapisan sosial dalam kontek antara agama, seperti pada permulaan
munculnya kerudung itu sendiri, akan tetapi sebagai sebuah symbol
lapisan sosial dalam kontek klasifikasi tingkatan ekonomi. Selanjutnya
penulis juga menemukan sebuah fenomena yang cukup menarik bahwa fenomena
kerudung kreatif telah menarik segelintir orang untuk mengapresiasi
melalui sebuah perkumpulan yang dipersatukan atas dasar budaya materi
ini. Ternyata hobi, kegemaran dan bisnis memakai kerudung ini
mengispirasikan sekelompok wanita untuk mendirikan sejumlah situs untuk
mempromosikan dan kemudian mempunyai basis massa dan visi-missi
tertentu.
Kemudian
munculnya kerudung kreatif juga menumbuhkan sebuah klasifikasi yang
baru, hal ini sebuah fenomena yang biasa dalam konteks zaman sekarang.
Misalnya kita berangkat dari sebuah contoh, agar mudah menggambarkan hal
ini. Lagam atau model pada budaya materi celana jeans misalnya, tahun
70-an umum telah berkembang model calana jeans cutbrai, baru pada tahun
90-an model ini sempat menghilang, dan kembali muncul tahun 2007.
Kemudian model ini tahun 2010 menghilang karena model celana jeans
pensil. Gaya celana pensil ini secara otomatis akan menganeliasi gaya
cutbraiy, sehingga jika ada remaja yang masih memakai celana jeans
cutbraiy saat ini dalam perspektif klasifikasi fashions dia akan masuk
pada golongan mode kuna. Hal ini terjadi secara otomatis, sehingga
celana pensil dalam waktu sekejap menjamur dan dipakai segala lapisan
masyarakat yang selalu tidak mau ketinggalan mode. Nampaknya begitu juga
dengan kerudung ini. Kerudung ini mulai menjamur,apalagi dengan
dukungan media massa dan elektronik, kerudung ini siap-siap akan menjadi
pusat perhatian baru, sehingga masyarakat akan banyak memburu model
ini. Dalam perkembangan waktu seperti yang berlaku pada celana jeans,
bahwa jika masih ada yang menggunakan kerudung “formal” maka secara
otomatis dia akan masuk dalam klasifikasi gaya era masa lalu, tentu hal
ini melalui kacamata masyarakat pengagum mode.
Kemunculan mode ini memang tidak datang sesederhana seperti apa yang
kita banyangkan. Kemunculan ini tentu melalui beberapa fase dan
kepentingan. Ada beberapa tahapan yang penulis jabarkan disini tentu
dalam kontek Indonesia. Pertama: bahwa munculnya kerudung yang
marak di Indonesia baru muncul pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Pada
waktu itu ditandai dengan munculnya kerudungisasi dikalangan masyarakat
kampus. Orde Baru adalah dimana kerudung menjadi sebuah hal yang masih
awam untuk dipakai. Hal ini memang sangat terkait dengan situasi politik
dan budaya pada masa itu. Peperangan yang panjang pasca kemerdekaan,
sampai kondisi pemerintah yang antipati terhadap gerakan ekstrimis kanan
yang terwakilkan oleh gerakan DII dan Negara Islam Indonesia hingga
terakhir tragedi Tanjung Priok berdampak pada pengamalan agama islam.
Selain itu juga kebijakan pemerintah yang cukup represif terhadap
pengawasan kegiatan pengamalan agama dan siar islam yang dilakukan
sejumlah organisasi islam juga berdampak pada sosialisasi atas kerudung
ini, sehingga dampaknya sangat terlihat pada masa Orde Baru sedikit
muslimah yang memakai kerudung. Kedua: era tahun 90-an,
pemerintah cukup mulai memperhatikan kehidupan beragama. Hal ini sebagai
sebuah dampak dari kehidupan pribadi Soeharto yang sudah mulai berusia
lanjut. Religiusitas Soeharto meningkat ditandai dengan berangkatnya
haji dan umroh yang selalu dipertontonkan melalui media, hal ini
dampaknya cukup bagus, kelonggaran beragama mulai ditunjukan dengan
beberapa surat keputusan presiden yang dikeluarkan.
Ketiga:
pasca reformasi ada sekolompok masyarakat yang menginginkan kehidupan
islami di setiap lini aktivitas, dan juga dibarengi dengan kebebasan
berekspresi, hal ini semakin mempermudah segala aktivitas hidup sesuai
dengan ideologi masing-masing. Keempat: kemudian fase yang
terakhir inilah yang menyuburkan symbol-simbol agama dipakai dalam
kehidupan, termasuk kerudung. Sebuah catatan yang penulis tekankan
adalah pada awalnya masyarakat belum berfikiran akan memodifikasi gaya
kerudung mereka. hal ini tentu saja dapat dipahami bahwasanya,
masyarakat baru belajar memakai simbol baru yang sebenarnya sudah lama
dikenal, dampaknya adalah normative, dan masih sesuai dengan ketentuan
yang selaras dengan dalil.
Fase
selanjutnya memang kerudung menjadi trend masyarakat muslimah indonesia.
hal ini mendorong pula dimunculkanya aturan-atruran yang melegalkan
kerudung, terutama di instansi-instansi islam yang sebagai lembaga
pendukung kebudayaan ini. Dampaknya massive kerudung menjadi hal yang
biasa atau lumrah pada perkembangan selanjutnya. Kelumprahan inilah
sebenarnya akar dari sebuah upaya desakralisasi kerudung itu sendiri,
ditambah penekanan pada esensi kewajiban berkerudung bagi seorang
muslimah mulai ditinggalkan, dan hanya sebatas peraturan berkerudung
yang diberlakukan, terutama untuk sekolah islam. Tentu saja hal ini
tidak mewadahi jikalau muncul sebuah apologistik, terhadap esensi
berkerudung.
Kepentingan Pasar Sebagai Pengaruh
Pasar
adalah kekuatan yang selalu mendorong sebuh perubahan kebudayaan.
Kepentingan pasar tidak akan toleran terhadap nilai-nilai dan batas
norma tertentu. Karena dalam kacamata kepentingan pasar, keuntungan
adalah segalanya. Jikalau keuntungan itu harus diupayakan dengan
menerobos batas-batas kemanusiaan, bukanlah menjadi persoalan.
Perspektif ini akan terus berlaku terutama bagi dunia moderen yang
menitik beratkan pada financial sebagai tolok ukur suatu keberhasilan
kehidupan. Sehingga banyak orang yang berusaha mengupayakanya hingga
titik darah penghabisan.
Sejumlah
produsen pasca menjamurnya pemakai kerudung, sangat menyadari sebuah
peluang keuntungan dari adanya trend ini. Hal ini tentu memacu munculnya
kreativitas untuk menghasilkan sebuah produk yang mampu menarik
konsumen lebih banyak. Inovasi-inovasi mulai dari kerudung yang praktis
dipakai, indah dengan berbagai aksesorisnya, dan berbahan kain tertentu
yang semuanya memanjakan bagi pemakainya, menjadi trend selanjutnya.
Menurut salah satu produsen kerudung diindonesia yang dikutip dari
republika co.id menuturkan bahwa: pengaruh televisi dan media massa
lain menyebabkan beragamnya pilihan gaya busana keseharian. Meski
tetap patuh pada pakem, setiap Muslimah lebih berani mengeksplorasi gaya
dengan tampilan berbeda dengan busana muslim sesuai karakter personal.
Menurut ia Aplikasi kerudung juga tak ketinggalan. Prinsipnya, kaidah
berbusana Muslim tetap dijalankan, namun perempuan masih bisa
bereksplorasi dengan kerudungnya, kata dia. Selama ini, busana Muslim
tidak lagi identik dengan kesan feminin. Sekarang ini, mulai
bermunculan jilbab bergaya sporty. Adapula, jilbab bergaya Hoodie, yakni
jilbab dengan penutup kepala namun menutupi bagian dada dengan detail
mengkerut sehingga sehingga tidak perlu lagi mengenakan kalung atau
rantai.
Kemudian
dalam beberapa episode pembiritaan dalam republika disebutkan bahwa
beberapa komunitas jilbab telah menjamur, motif mereka sebenarnya adalah
keprihatinan akan kondisi pasar jilbab yang dikuasai oleh pasar asing
seperti cina dan timur tengah. Atas keprihatinanya tersebut mereka
berusaha menciptakan produk mandiri untuk memenuhi pasar dalam negeri.
Meskipun gaya masih banyak mengadopsi gaya luar. Adapun contoh komunitas
yang sekaligus menjadi nama situs internet adalah Hij Up, dan Jilbab
Cantik. Sekarang telah ada berpuluh-puluh gaya jilbab contohnya:
Chrysant, Rose, Orchid, Jasmine, Sakura dan Tulip, Daisy dan Violet.
Selain bisnis, mereka mempunyai alasan untuk mesosialisaikan jilbab
kepada masyarakat yang belum memakainya. Sengan cara mengembangkan model
diharapkan masyarakat semakin mencintai jilbab.
Dalih
untuk menciptakan gaya untuk menambah kesan kerudung mampu menampung
aspirasi bagi setiap individu si pemakainya menjadi salah satu alasan
yang berkembang saat ini. Sebenarnya jika kita berfikir positif tentu
hal ini sah-sah saja. Jika benar dan konsisten apa yang dikatakan oleh
produsen tadi bahwa tanpa melanggar koridor hukum, atau kaidah kerudung,
jangan sampai gaya mengorbankan esensi kerudung. sebenarnya kerudung
kreatif tidaklah buruk dampak kemunculanya. Alasanya hal ini akan
meningkatkan minat para muslimah untuk memakai kerudung. Selain itu
dengan adanya banyak pilihan model kerudung, muslimah yang belum
memakainya akan lebih tertarik.
Hal yang
disayangkan adalah penekanan akan kerudung kreatif hanya berhenti pada
wilayah fashion atau gaya saja. Sehingga nilai-nilai atau esensi akan
kerudung itu sendiri tidak diketahui oleh pemakainya. Memang penulis
akui bahwa hal ini bukan tugasnya para produsen, terlebih bagi produsen
yang hanya mengejar keuntungan. Akan tetapi setidaknya jika memang ada
sejumlah produsen yang peduli akan hal ini, tentusaja seharusnya
produsen akan berimbang dalam memproduksi kerudung yaitu antara
kreatifitas dan sesuai dengan koridor berkerudung yang benar. Tentu saja
hal ini juga bagi para pemakainya. Jika para pemakai menganggap bahwa
kerudung adalah bagian dari perintah agama yang tentu saja sacral dan
tidak boleh di modifikasi yang mengarah pada pelanggaran akan pakem
dalil, maka seharusnya para pemakai harus sadar bahwa kerudung dengan
gaya yang tidak sesuai seharusnya jangan dibeli atau dipakai.
Lahirnya
komunitas pecina kerudung kreatif setidaknya juga ikut mensosialisasikan
bagaimana kerudung yang normative itu. Kalaupun mereka ingin
menciptakan model atau gaya yang baru, hendaknya itu harus dibarengi
dengan penjelasan-penjelasan atau batasan-batasannya. Sehingga peran
komunitas ini tidak sebatas pada sosialisasi trens masa kini, akan
tetapi juga flashback pada masa lampau tentang hakekat kerudung itu di
syariatkan.
Kesimpulan
Dari
fenomena perubahan budaya materi kerudung tersebut penulis akan berusaha
menyimpulkan bahwasanya ada beberapa hal yang ditekankan disini. Yang
pertama adalah terdapat perkembangan gaya dalam budaya materi ini, hal
ini menandakan bahwa proses transformasi nilai-nilai atau pemaknaan akan
budaya materi ini tidak sepenuhnya tersampaikan. Hal ini diakibatkan
oleh beberapa factor budaya, sosial, politik dan lain sebagainya yang
menunjukan proses yang sangat panjang perubahanya. Pada tahap
perkembangan akhir pada kerudung kreatif ada beberapa hal yang dapat
dibaca bahwa telah terjadi penyimpangan pemahaman terhadap esensi
pemakianya. Sehingga tahap awal kerudung yang masih dalam dimensi
ekofak, sosialfak dan ideofak, berkembang pula pada salah satu
penekananya yaitu sosialfak. Artinya penekanan kerudung hanya pada
wilayah atribut sosial atau penanda status sosial yang mempertegas
perbedaan sosial si pemakainya. Hal ini jauh menyimpang dari hakekat
makna kerudung sebenarnya.