Senin, 14 Januari 2013

Sejarah Kerudung dan Perkembanganya Perspektif Pembacaan Perkembangan Budaya Materi


Sebuah budaya materi saat dipandang sebatas dalam kacamata Fungsi teknis sah-sah saja dan hal ini memang berkembang pada awal-awal perkembangan metode penelitian untuk memaknai sebuah budaya materi sebagai hasil dari kreativitas manusia. Maka dalam istilah ilmu arkeologi muncul teknofak artinya si peneliti melihat obyek kajian budaya materi dalam kacamata benda sebagai fungsi teknis (prof Timbol, 2001). Contohnya seorang peneliti ketika melihat sepeda motor, kemudian ia menyimpulkan bahwa sepeda motor memiliki fungsi sebagai katalisator perkembangan peradaban manusia. Tentu hal ini bukanlah sebuah kesimpulan yang salah. Perkembangan cara berfikir manusia, selanjutnya menambah khasanah penafsiran terhadap budaya materi sehingga muncul apa yang telah diklasifikasikan oleh Binford and White dengan teknofak, ideofak dan sosiofak yaitu dua terakhir adalah sebagai tambahan sebuah cara pandang terhadap budaya materi yang dikaitkan dengan ideologi dan konteks fungsi sosial. Misalnya ideofak ketika seorang peneliti menerjemahkan fungsi benda kaitanya dengan ideologi tertentu, misalnya Al-Quran, atau Salib. Sedangkan Sosiofak sering dicontohkan perhiasan emas yang kemudian ditafsirkan sebagai symbol tingkatan kelas sosial tertentu.
Cara pandang ini kaitanya untuk mempermudah pembacaan sebuah fenomena budaya materi, yang menjadi salah satu jalan untuk membaca realitas sosial masyarakat yang mempunyai hubungan dengan materi tersebut. Alasan yang logis kaitanya dengan pertanyaan mengapa budaya materi menjadi salah satu jalan alternative dalam pembacaan realitas ini? Hal yang sering diungkapkan oleh para ahli materialism adalah bahwa materi adalah sebuah hasil ekspresi manusia yang mampu menggambarkan pra-kondisi, saat-kondisi, dan pasca-kondisi si pembuat benda materi ini, sehingga mampu memperlihatkan sebuah rangkaian proses berfikir si pembuatnya. Penjelasan lainya benda materi adalah salah satu wujud apresiasi manusia dalam berhubungan dengan realitas lingkunganya baik itu dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia sehingga cukup relevan untuk membantu mengungkapkan isi pikiran manusia yang membuat benda tersebut. Sedikit penjelasan diatas kiranya akan cukup sebagai alasan kita membaca realitas sosial menggunakan jalur budaya materi.
Budaya materi yang akan kita bahas adalah kerudung, yang menjadi salah satu budaya materi yang mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam konteks cara pandang si pembuat dan pemakainya, dan berakibat pada perubahan makna dan model kerudung itu sendiri. Sehingga menurut hemat penulis dengan kerudung itu sendiri akan cukup menjelaskan cara pandang masyarakat pendukung budaya kerudung ini.

Sejarah dan Perkembangan Kerudung
Kerudung awalnya adalah sebuah benda yang kemunculanya akibat dari dorongan syaraiat, artinya munculnya ide budaya materi kerudung adalah berasal dari hukum Alloh yang jelas, sudah diberi definisi dan ketentuan apa yang dimaksud, dan dalam kadar seperti apa sesuatu bisa disebut sebagai sebuah kerudung (Al ~ Qur'an surat An - Nur (24): 31). Sehingga manusia tinggal memahami kemudian mewujudkanya. Dalam konteks ini, penulis menafsirkan awalnya kerudung masih sebatas sebagai fungsi teknis, artinya baru sebatas sebagai sebuah benda yang memiliki fungsi untuk menutupi bagian tubuh yang dilarang untuk dilihat oleh orang lain, untuk menghindari maksiat bagi yang melihat( Al ~ Qur'an surat Al - Ahzab (33): 59). Kemudian fungsi kerudung tidak hanya sebatas sebagai fungsi teknis saja. Karena dalil tidak sebatas itu dalam memerintah, akan tetapi kerudung juga sebagai sebuah identitas bagi si pemakainya. akibatnya masyarakat Arap yang memakai kerudung sesuai syariat memiliki identitas sosial baru, yaitu sebagai seorang wanita muslim yang dihormati dan lelaki segan dan tidak menggangu, demikianlah catatan sejarah berkata. Sehingga jika kerudung dikaitkan sebagai sebuah identitas sosial kaitanya dengan keagamaan, maka pembacaan kerudung berkembang lagi, tidak hanya sebatas teknofak, dan sosiofak akan tetapi fungsi ideofak otomatis juga melekat karena kerudung adalah bagian dari syariat agama islam, yang tak lain islam sebagai sebuah ideologi bagi sebagaian manusia dimuka bumi ini.
Abad ke 7 adalah abad dimana awal perintah berkerudung, dalam konteks abad ke 7 di semenanjung Arabia, kondisi sosial masyarakat jauh dari pengaruh peradaban dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.(lihat: sejarah Muhammad, M Husein Haekal) Hal ini sebagai dampak dari geomorfologi Arab yang terpencil dan terkukung dari pegunungan dan padang pasir, hal ini berdampak pada pengaruh budaya yang cukup kecil terjadi, sehingga apa yang dikembangkan oleh masyarakat masih sesuai dengan doktrin yang ada di lingkungan masyarakat Arab. Kerudung sebagai sebuah hasil pemahaman atas dalil agama juga belum mengalami perubahan akibat pengaruh dua pusat kebudayaan dan masih sesuai dengan makna, dan ketentuanya, yang dimaksud disini sesuai dengan dalil adalah kerudung berarti: kain penutup kepala sehingga kain menjulur hingga dada. Hal ini dapat ditarik sebuah pengetian bahwa masyarakat pendukung kebudayaan kerudung pada awalnya masih memegang teguh ketentuan-ketentuan dalil tentang kerudung, dan belum terfikirkan untuk merubah makna kerudung. Pasca islam pada abad ke 9-12 mengalami perkembangan dan persebaran mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainya, misalnya di sebagaian Negara timur-tengah berkembang model kerudung dengan cadar, burqa, niqop, dan masker, kemudian berkembang pula di Nusantara atau Melayu abad 19 kerudung selendang yang tidak menutupi penuh kepala, dan hanya di selampirkan. di kawasan timur juga berkembang kerudung dengan motif hiasan tertentu sesuai dengan konteks lingkunganya, tidak sebatas polos tanpa motif, dan lain sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah perkembangan dalam berupaya untuk menafsiakan kerudung. Faktorya tentu banyak, hal ini terkait dengan kondisi sosial budaya, lingkungan, dan pemahaman atas dalil agama.
Singkatnya dalam konteks kondisi sosial-budaya misalnya: pendapat yang masih menjadi perdebatan para ahli, bahwa khusunya di Jawa pada abad 19, masih sedikit masyarakat yang memakai kerudung sesuai ketentuan dalil, hanya sebatas selendang yang diselampirkan di kepala, hal ini sebagaian berpendapat bahwa, hal ini sebagai dampak pola penyebaran agama islam yang dilakukan oleh Wali Songo, yang sangat toleran dengan budaya lokal, sehingga pada waktu itu Wali Songo baru menyampaikan masalah Teologis belum sampai pada masalah fiqih kerudung, karena menyadari bahwa hal ini akan merubah budaya berpakaian masyarakat jawa yang sangat mencolok. Contoh lain dalam konteks kondisi lingkungan alam: misalnya pada masyarakat di Melayu, yang memakai kerudung dengan bahan dan motif yang lebih variatif, hal ini menggambarkan kondisi bahan baku kerudung, yang sesuai dengan kondisi sumber daya alam masyarakat pendukungnya. Dan contoh yang terakhir adalah perubahan kerudung karena pemahaman dalil agama yang menyebabkan berubahanya kerudung. Misalnya saja Cadar yang masih menjadi perdebatan para ulama dalam hal keharusanya memakai.
Dari semua proses dari awal pemahaman manusia atas dalil agama yang menyebutkan keharusan berkerudung, hingga abad selanjutnya dalam proses perubahan kerudung dapat dimaknai bahwa manusia pendukung budaya materi kerudung memiliki pola fikir pada dimensi kerudung sebagai sebuah benda materi sacral, karena ini adalah perintah Alloh, sehingga tidak ada inovasi yang berarti, jika ada hal ini disebabkan karena factor-faktor yang sebenarnya bukan melenceng dari anggapan kesakralan itu sendiri, ini hanya terkait dengan factor teknis saja, belum beranjak pada masalah pergeseran ideologi.
Memaknai Fenomena Perubahan Budaya Materi: Kerudung Kreatif
Yang dimaksud Kerudung Kreatif dalam hal ini adalah sebuah kerudung yang penulis anggap hilang dari sisi nilai-nilai ideologis sebagai dasar kemunculnya, dan bergeser yang lebih menonjol pada sisi gaya hidup atau sebuah mode. Sehingga kerudung disini mengalami pergeseran makna, dari sacral menjadi profane. Kerudung kreatif hari ini juga telah menjadi symbol-simbol lapisan sosial, tentusaja maksud penulis bukan sebatas symbol lapisan sosial dalam kontek antara agama, seperti pada permulaan munculnya kerudung itu sendiri, akan tetapi sebagai sebuah symbol lapisan sosial dalam kontek klasifikasi tingkatan ekonomi. Selanjutnya penulis juga menemukan sebuah fenomena yang cukup menarik bahwa fenomena kerudung kreatif telah menarik segelintir orang untuk mengapresiasi melalui sebuah perkumpulan yang dipersatukan atas dasar budaya materi ini. Ternyata hobi, kegemaran dan bisnis memakai kerudung ini mengispirasikan sekelompok wanita untuk mendirikan sejumlah situs untuk mempromosikan dan kemudian mempunyai basis massa dan visi-missi tertentu.
Kemudian munculnya kerudung kreatif juga menumbuhkan sebuah klasifikasi yang baru, hal ini sebuah fenomena yang biasa dalam konteks zaman sekarang. Misalnya kita berangkat dari sebuah contoh, agar mudah menggambarkan hal ini. Lagam atau model pada budaya materi celana jeans misalnya, tahun 70-an umum telah berkembang model calana jeans cutbrai, baru pada tahun 90-an model ini sempat menghilang, dan kembali muncul tahun 2007. Kemudian model ini tahun 2010 menghilang karena model celana jeans pensil. Gaya celana pensil ini secara otomatis akan menganeliasi gaya cutbraiy, sehingga jika ada remaja yang masih memakai celana jeans cutbraiy saat ini dalam perspektif klasifikasi fashions dia akan masuk pada golongan mode kuna. Hal ini terjadi secara otomatis, sehingga celana pensil dalam waktu sekejap menjamur dan dipakai segala lapisan masyarakat yang selalu tidak mau ketinggalan mode. Nampaknya begitu juga dengan kerudung ini. Kerudung ini mulai menjamur,apalagi dengan dukungan media massa dan elektronik, kerudung ini siap-siap akan menjadi pusat perhatian baru, sehingga masyarakat akan banyak memburu model ini. Dalam perkembangan waktu seperti yang berlaku pada celana jeans, bahwa jika masih ada yang menggunakan kerudung “formal” maka secara otomatis dia akan masuk dalam klasifikasi gaya era masa lalu, tentu hal ini melalui kacamata masyarakat pengagum mode.
Kemunculan mode ini memang tidak datang sesederhana seperti apa yang kita banyangkan. Kemunculan ini tentu melalui beberapa fase dan kepentingan. Ada beberapa tahapan yang penulis jabarkan disini tentu dalam kontek Indonesia. Pertama: bahwa munculnya kerudung yang marak di Indonesia baru muncul pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Pada waktu itu ditandai dengan munculnya kerudungisasi dikalangan masyarakat kampus. Orde Baru adalah dimana kerudung menjadi sebuah hal yang masih awam untuk dipakai. Hal ini memang sangat terkait dengan situasi politik dan budaya pada masa itu. Peperangan yang panjang pasca kemerdekaan, sampai kondisi pemerintah yang antipati terhadap gerakan ekstrimis kanan yang terwakilkan oleh gerakan DII dan Negara Islam Indonesia hingga terakhir tragedi Tanjung Priok berdampak pada pengamalan agama islam. Selain itu juga kebijakan pemerintah yang cukup represif terhadap pengawasan kegiatan pengamalan agama dan siar islam yang dilakukan sejumlah organisasi islam juga berdampak pada sosialisasi atas kerudung ini, sehingga dampaknya sangat terlihat pada masa Orde Baru sedikit muslimah yang memakai kerudung. Kedua: era tahun 90-an, pemerintah cukup mulai memperhatikan kehidupan beragama. Hal ini sebagai sebuah dampak dari kehidupan pribadi Soeharto yang sudah mulai berusia lanjut. Religiusitas Soeharto meningkat ditandai dengan berangkatnya haji dan umroh yang selalu dipertontonkan melalui media, hal ini dampaknya cukup bagus, kelonggaran beragama mulai ditunjukan dengan beberapa surat keputusan presiden yang dikeluarkan.
Ketiga: pasca reformasi ada sekolompok masyarakat yang menginginkan kehidupan islami di setiap lini aktivitas, dan juga dibarengi dengan kebebasan berekspresi, hal ini semakin mempermudah segala aktivitas hidup sesuai dengan ideologi masing-masing. Keempat: kemudian fase yang terakhir inilah yang menyuburkan symbol-simbol agama dipakai dalam kehidupan, termasuk kerudung. Sebuah catatan yang penulis tekankan adalah pada awalnya masyarakat belum berfikiran akan memodifikasi gaya kerudung mereka. hal ini tentu saja dapat dipahami bahwasanya, masyarakat baru belajar memakai simbol baru yang sebenarnya sudah lama dikenal, dampaknya adalah normative, dan masih sesuai dengan ketentuan yang selaras dengan dalil.
Fase selanjutnya memang kerudung menjadi trend masyarakat muslimah indonesia. hal ini mendorong pula dimunculkanya aturan-atruran yang melegalkan kerudung, terutama di instansi-instansi islam yang sebagai lembaga pendukung kebudayaan ini. Dampaknya massive kerudung menjadi hal yang biasa atau lumrah pada perkembangan selanjutnya. Kelumprahan inilah sebenarnya akar dari sebuah upaya desakralisasi kerudung itu sendiri, ditambah penekanan pada esensi kewajiban berkerudung bagi seorang muslimah mulai ditinggalkan, dan hanya sebatas peraturan berkerudung yang diberlakukan, terutama untuk sekolah islam. Tentu saja hal ini tidak mewadahi jikalau muncul sebuah apologistik, terhadap esensi berkerudung.
Kepentingan Pasar Sebagai Pengaruh
Pasar adalah kekuatan yang selalu mendorong sebuh perubahan kebudayaan. Kepentingan pasar tidak akan toleran terhadap nilai-nilai dan batas norma tertentu. Karena dalam kacamata kepentingan pasar, keuntungan adalah segalanya. Jikalau keuntungan itu harus diupayakan dengan menerobos batas-batas kemanusiaan, bukanlah menjadi persoalan. Perspektif ini akan terus berlaku terutama bagi dunia moderen yang menitik beratkan pada financial sebagai tolok ukur suatu keberhasilan kehidupan. Sehingga banyak orang yang berusaha mengupayakanya hingga titik darah penghabisan.
Sejumlah produsen pasca menjamurnya pemakai kerudung, sangat menyadari sebuah peluang keuntungan dari adanya trend ini. Hal ini tentu memacu munculnya kreativitas untuk menghasilkan sebuah produk yang mampu menarik konsumen lebih banyak. Inovasi-inovasi mulai dari kerudung yang praktis dipakai, indah dengan berbagai aksesorisnya, dan berbahan kain tertentu yang semuanya memanjakan bagi pemakainya, menjadi trend selanjutnya. Menurut salah satu produsen kerudung diindonesia yang dikutip dari republika co.id menuturkan bahwa: pengaruh televisi dan media massa lain menyebabkan beragamnya pilihan gaya busana keseharian. Meski tetap patuh pada pakem, setiap Muslimah lebih berani mengeksplorasi gaya dengan tampilan berbeda dengan busana muslim sesuai karakter personal. Menurut ia Aplikasi kerudung juga tak ketinggalan. Prinsipnya, kaidah berbusana Muslim tetap dijalankan, namun perempuan masih bisa bereksplorasi dengan kerudungnya, kata dia. Selama ini, busana Muslim tidak lagi identik dengan kesan feminin. Sekarang ini, mulai bermunculan jilbab bergaya sporty. Adapula, jilbab bergaya Hoodie, yakni jilbab dengan penutup kepala namun menutupi bagian dada dengan detail mengkerut sehingga sehingga tidak perlu lagi mengenakan kalung atau rantai.
Kemudian dalam beberapa episode pembiritaan dalam republika disebutkan bahwa beberapa komunitas jilbab telah menjamur, motif mereka sebenarnya adalah keprihatinan akan kondisi pasar jilbab yang dikuasai oleh pasar asing seperti cina dan timur tengah. Atas keprihatinanya tersebut mereka berusaha menciptakan produk mandiri untuk memenuhi pasar dalam negeri. Meskipun gaya masih banyak mengadopsi gaya luar. Adapun contoh komunitas yang sekaligus menjadi nama situs internet adalah Hij Up, dan Jilbab Cantik. Sekarang telah ada berpuluh-puluh gaya jilbab contohnya: Chrysant, Rose, Orchid, Jasmine, Sakura dan Tulip, Daisy dan Violet. Selain bisnis, mereka mempunyai alasan untuk mesosialisaikan jilbab kepada masyarakat yang belum memakainya. Sengan cara mengembangkan model diharapkan masyarakat semakin mencintai jilbab.
Dalih untuk menciptakan gaya untuk menambah kesan kerudung mampu menampung aspirasi bagi setiap individu si pemakainya menjadi salah satu alasan yang berkembang saat ini. Sebenarnya jika kita berfikir positif tentu hal ini sah-sah saja. Jika benar dan konsisten apa yang dikatakan oleh produsen tadi bahwa tanpa melanggar koridor hukum, atau kaidah kerudung, jangan sampai gaya mengorbankan esensi kerudung. sebenarnya kerudung kreatif tidaklah buruk dampak kemunculanya. Alasanya hal ini akan meningkatkan minat para muslimah untuk memakai kerudung. Selain itu dengan adanya banyak pilihan model kerudung, muslimah yang belum memakainya akan lebih tertarik.
Hal yang disayangkan adalah penekanan akan kerudung kreatif hanya berhenti pada wilayah fashion atau gaya saja. Sehingga nilai-nilai atau esensi akan kerudung itu sendiri tidak diketahui oleh pemakainya. Memang penulis akui bahwa hal ini bukan tugasnya para produsen, terlebih bagi produsen yang hanya mengejar keuntungan. Akan tetapi setidaknya jika memang ada sejumlah produsen yang peduli akan hal ini, tentusaja seharusnya produsen akan berimbang dalam memproduksi kerudung yaitu antara kreatifitas dan sesuai dengan koridor berkerudung yang benar. Tentu saja hal ini juga bagi para pemakainya. Jika para pemakai menganggap bahwa kerudung adalah bagian dari perintah agama yang tentu saja sacral dan tidak boleh di modifikasi yang mengarah pada pelanggaran akan pakem dalil, maka seharusnya para pemakai harus sadar bahwa kerudung dengan gaya yang tidak sesuai seharusnya jangan dibeli atau dipakai.
Lahirnya komunitas pecina kerudung kreatif setidaknya juga ikut mensosialisasikan bagaimana kerudung yang normative itu. Kalaupun mereka ingin menciptakan model atau gaya yang baru, hendaknya itu harus dibarengi dengan penjelasan-penjelasan atau batasan-batasannya. Sehingga peran komunitas ini tidak sebatas pada sosialisasi trens masa kini, akan tetapi juga flashback pada masa lampau tentang hakekat kerudung itu di syariatkan.
Kesimpulan
Dari fenomena perubahan budaya materi kerudung tersebut penulis akan berusaha menyimpulkan bahwasanya ada beberapa hal yang ditekankan disini. Yang pertama adalah terdapat perkembangan gaya dalam budaya materi ini, hal ini menandakan bahwa proses transformasi nilai-nilai atau pemaknaan akan budaya materi ini tidak sepenuhnya tersampaikan. Hal ini diakibatkan oleh beberapa factor budaya, sosial, politik dan lain sebagainya yang menunjukan proses yang sangat panjang perubahanya. Pada tahap perkembangan akhir pada kerudung kreatif ada beberapa hal yang dapat dibaca bahwa telah terjadi penyimpangan pemahaman terhadap esensi pemakianya. Sehingga tahap awal kerudung yang masih dalam dimensi ekofak, sosialfak dan ideofak, berkembang pula pada salah satu penekananya yaitu sosialfak. Artinya penekanan kerudung hanya pada wilayah atribut sosial atau penanda status sosial yang mempertegas perbedaan sosial si pemakainya. Hal ini jauh menyimpang dari hakekat makna kerudung sebenarnya.