Di
Indonesia perayaan Idul Fitri, selalu dibarengi dengan tradisi memakai
baju baru. Tidak heran ketika memasuki hari-hari terakhir Ramadan,
sejumlah pusat perbelanjaan ramai dikunjungi. Utamanya, mereka datang
untuk membeli baju lebaran baru.
Tradisi memakai baju baru ini sudah berlangsung cukup lama, dan turun temurun. Meski tidak ada kewajiban agama untuk melakukannya, namun mayoritas Muslim Indonesia sesudah terbiasa tampil dengan baju baru di hari suci.
Sejak tahun 1596, tradisi memakai baju baru saat lebaran sudah terjadi. Dalam buku Sejarah nasional Indonesia tulisan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dijelaskan, ketika menyambut lebaran, mayoritas penduduk di bawah kerajaan Banten sibuk menyiapkan baju baru.
Namun bedanya waktu itu, hanya sedikit masyarakat yang membeli baju baru. Mayoritas mereka menjahit sendiri, ini lantaran masih terbatasnya teknologi waktu itu. Hanya kalangan kerajaan yang memiliki akses luas mendapatkan baju bagus untuk lebaran.
Digambarkan suasana Banten waktu itu ketika menyambut lebaran sangat ramai, berbeda dari hari-hari biasanya. Dan juga, mayoritas penduduk yang berprofesi sebagai petani, ramai-ramai berubah menjadi tukang jahit dadakan. Pada malam hari, sepanjang jalanan dipenuhi oleh cahaya obor yang menghiasi di tiap sisi.
Kondisi senada juga terjadi di kerajaan Mataram (Yogyakarta). Memasuki hari terakhir Ramadan, orang-orang Muslim Mataram sibuk membuat pakaian baru untuk dipakai pada hari raya.
Tradisi baju baru juga diiringi dengan pemukulan beduk pada malam hari raya dan sebelum salat Ied. Umumnya beduk yang digunakan terdapat di musola atau surau. Jika hari biasa, beduk-beduk itu digunakan untuk memberitahu waktu masuk salat. Karena waktu itu, jam merupakan benda mahal yang hanya dimiliki oleh kerajaan.
Sama seperti fungsinya untuk memberitahu waktu salat, penggunaan beduk pada malam Idul Fitri adalah untuk menginformasikan jika pada malam itu adalah buka puasa terakhir Ramadan. Begitu juga dengan pemukulan beduk pada saat salat Ied, untuk memberitahukan jika hari itu sudah masuk 1 Syawal.
Tradisi memakai baju baru ini sudah berlangsung cukup lama, dan turun temurun. Meski tidak ada kewajiban agama untuk melakukannya, namun mayoritas Muslim Indonesia sesudah terbiasa tampil dengan baju baru di hari suci.
Sejak tahun 1596, tradisi memakai baju baru saat lebaran sudah terjadi. Dalam buku Sejarah nasional Indonesia tulisan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dijelaskan, ketika menyambut lebaran, mayoritas penduduk di bawah kerajaan Banten sibuk menyiapkan baju baru.
Namun bedanya waktu itu, hanya sedikit masyarakat yang membeli baju baru. Mayoritas mereka menjahit sendiri, ini lantaran masih terbatasnya teknologi waktu itu. Hanya kalangan kerajaan yang memiliki akses luas mendapatkan baju bagus untuk lebaran.
Digambarkan suasana Banten waktu itu ketika menyambut lebaran sangat ramai, berbeda dari hari-hari biasanya. Dan juga, mayoritas penduduk yang berprofesi sebagai petani, ramai-ramai berubah menjadi tukang jahit dadakan. Pada malam hari, sepanjang jalanan dipenuhi oleh cahaya obor yang menghiasi di tiap sisi.
Kondisi senada juga terjadi di kerajaan Mataram (Yogyakarta). Memasuki hari terakhir Ramadan, orang-orang Muslim Mataram sibuk membuat pakaian baru untuk dipakai pada hari raya.
Tradisi baju baru juga diiringi dengan pemukulan beduk pada malam hari raya dan sebelum salat Ied. Umumnya beduk yang digunakan terdapat di musola atau surau. Jika hari biasa, beduk-beduk itu digunakan untuk memberitahu waktu masuk salat. Karena waktu itu, jam merupakan benda mahal yang hanya dimiliki oleh kerajaan.
Sama seperti fungsinya untuk memberitahu waktu salat, penggunaan beduk pada malam Idul Fitri adalah untuk menginformasikan jika pada malam itu adalah buka puasa terakhir Ramadan. Begitu juga dengan pemukulan beduk pada saat salat Ied, untuk memberitahukan jika hari itu sudah masuk 1 Syawal.