Banyak cara meraih kekayaan dengan kerja keras dan halal, tapi tak
sedikit pula orang yang ingin kaya secara instan. Bahkan rela bersekutu
dengan setan, yaitu dengan cara ritual pesugihan.
Di Jawa Timur, ada banyak tempat untuk ritual ngipri atau pesugihan.
Salah satunya di daerah Ngujang, Tulungagung. Di tempat ini terkenal
dengan pesugihan monyet atau kera, atau dalam Bahasa Jawa biasa disebut
kethek.
Tidaklah sulit menemukan tempat ritual pesugihan ini. Jika hendak
menuju Kota Tulungagung, para wisatawan yang datang dari arah utara,
pasti melewati Desa Ngujang. Dan jika para wisatawan (biasanya mereka
berwisata di daerah Popoh, yang menjadi salah satu obyek wisata Pantai
Selatan di Jawa Timur) yang melewati Desa Ngujang, mereka akan mengira
tempat ini adalah area komplek lokalisasi. Sebab, selain terkenal
sebagai tempat pesugihan, Desa Ngujang juga dikenal sebagai lokalisasi
atau komplek tempat para pekerja seks komersial (PSK) mengais rezeki.
Sementara area pesugihan ‘kethek’ berada di kompleks pemakaman umum,
di sebelah selatan Sungai Brantas, tepatnya di sisi utara Desa Ngujang.
Di tempat tersebut, terdapat dua makam umum di sisi kiri dan kanan.
Kedua makam itu saling berhadap-hadapan dan hanya dipisah jalan raya.
Satu komplek pemakaman Pecinan atau China, satunya lagi makam Jawa.
Dan di tempat inilah, tempat hidup dan berkumpulnya ratusan, bahkan
ribuan monyet, atau warga sekitar biasa menyebutnya lokasi Kethekan.
“Di situ, orang-orang yang datang, biasanya meminta pesugihan,” terang Wignyo, warga Desa Campur Darat, Tulungagung.
Lelaki paruh baya, yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh
spiritual di Tulungagung itu juga menceritakan, ada tata cara khusus
untuk menjalani ritual pesugihan di Ngujang. Ada perjanjian-perjanjian
khusus yang harus dipenuhi sang pemuja sebagai mahar (mas kawin).
“Termasuk dia (pemuja pesugihan) harus bersedia menjadi penghuni
makam Ngujang dan berkumpul bersama kethek-kethek di sana ketika ajal
menjemput. Saat masih hidup-pun, si pemuja juga wajib memberi tumbal
kepada mahkluk ghaib yang menguasai makam Ngujang.”
Sementara warga sekitar, meyakini kalau kethek-kethek yang menghuni
makam Ngujang, adalah perwujudan si pemuja pesugihan yang sudah
meninggal, termasuk wujud tumbal yang pernah dijadikan persembahan si
pemuja semasa hidupnya. Singkat kata, monyet-monyet itu adalah mahkluk
jadi-jadian alias jelmaan siluman.
Namun populasi monyet-monyet itu tidak bertambah maupun berkurang
dari dulu. Dalam bahasa ilmiah, angka kelahiran monyet itu sama dengan
angka kematiannya. Sedangkan menurut Mohammad Toif, warga Sepanjang,
Sidoarjo yang mengaku sempat singgah dan bercakap-cakap dengan juru
kunci makam Ngujang menceritakan, sejarah Kethekan.
Sejarahe Kethekan, cerita Toif yang didapat dari juru kunci makam
Desa Ngujang. Dahulu kala, ada sebuah Pondok Pesantren di Desa Ngantru
yang berada tidak jauh dari Desa Ngujang.
“Sampai sekarang pesantren itu masih ada,” katanya. Suatu hari, lanjut
Toif, dua orang santri Ponpes tersebut, laki-laki dan perempuan, tengah
bermain-main di sekitar dua komplek makam. “Dahulu tempat tersebut
bukanlah makam, hanya tempat biasa yang rindang karena banyak
pohon-pohon besar yang tumbuh,” terang Toif menceritakan cerita sang
juru kunci.
Sekarang pun pohon-pohon besar masih bisa dijumpai di areal
pemakaman. “Dua santri itu sengaja membolos dari pengajian untuk
bermain-main di tempat yang kini dijadikan tempat muja. Mereka bermain
sambil memanjat pohon di tempat tersebut. Karena asyik bermain, kedua
santri tersebut, lupa kalau ada pengajian rutin di pesantren tempat
mereka belajar.
Namun, tiba-tiba salah satu kiai mereka datang dan bertemu dengan dua
santrinya yang asyik bermain tersebut,” kata Toif melanjutkan
ceritanya. Kedua santri itu masih asyik memanjat pohon ketika kiai
mereka datang. Sedangkan sang kiai yang melihat kedua santrinya tidak
mengikuti pengajian, menegur dua bocah tersebut. Kata sang kiai: “Nduk,
le, kalian kok tidak ikut ngaji? Lihat teman-teman kalian sedang mengaji
di pondok. Kalian kok malah memanjat pohon di sini, seperti kethek
saja.”
Menurut orang-orang kuno, kata Toif menegaskan, khususnya orang-orang
linuweh (sakti) seperti para kiai, kata-katanya ibarat kutukan. “Kedua
santri itu, konon menjadi monyet yang hidup di sekitar makam Desa
Ngujang. Monyet yang sering terlihat di sekitar makam Ngujang itu,
adalah keturunan dari dua santri yang dikutuk menjadi monyet oleh kiai
pondok tersebut. Sejak saat itu, desa itu disebut sebagai desa Ngujang
yang berasal dari kata pawejangan, yang artinya tempat menuntut ilmu
(pondok pesantren).”
Selanjutnya, dari zaman ke zaman, makam Ngujang atau Kethekan,
dijadikan tempat mencari pesugihan. Barang siapa yang meminta juru kunci
untuk membantu mencari pesugihan, dia
(si pemuja) diberi seekor monyet yang dijadikan peliharaan untuk dapat mendatangkan rezeki.
“Sebelum dihadiahi seekor monyet, si pemuja diminta melakukan ritual
terlebih dahulu. Dan setiap tahun pada tanggal 1 Suro, semua orang yang
pernah mencari pesugihan di sana, dimintai sumbangan tertentu untuk
mengadakan ritual semacam selamatan. Semua orang yang pernah mencari
pesugihan di sana akan diundang dalam acara selamatan tersebut,” pungkas
Toif mengakhiri cerita yang pernah dia dapat secara kebetulan di Desa
Ngujang.
sumber artikel : Mitos: Pesugihan “Kethek” di Ngujang Jawa Timur, Konon jelmaan 2 santri yang dikutuk,