Pages - Menu

Minggu, 30 September 2012

Buya Malik, Ulama Muhammadiyyah Yang Menolak Pancasila

Orangnya tegas, jujur, dan pemberani. Tidak kenal kompromi untuk akidah menjadi kalimat pas yang melekat dalam pribadinya. Berbeda dengan orang-orang yang mengemis jabatan agar dekat dengan pemerintah, ia justru sebaliknya. Kursi empuk dalam struktur tertinggi Muhammadiyyah pernah ditolaknya hanya karena tak mau menjadi penjilat Soeharto.
“… karena saya pribadi hubungannya kurang harmonis dengan pemerintah (Soeharto), maka sebaiknya saya jangan ditempatkan jadi orang nomor satu,” ungkapnya mengagetkan koleganya.
Ia adalah KH. Abdul Malik Ahmad atau akrab disapa Buya Malik. Tokoh Ideologis Muhammadiyyah yang sempat heboh ketika menolak asas tunggal Pancasila periode 1980-an di tubuh organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan. Bagi Buya Malik, posisi tauhid tidak boleh bergeser setapal pun meski demi alasan pragmatis. Iya, kata yang justru menjadi kunci ormas-ormas muslim saat ini agar bisa “memuluskan” jalan dakwahnya.
Kisah ini bermula ketika Soeharto memaksakan tiap ormas untuk menerima Asas Tunggal Pancasila lewat RUU Organisasi Kemasyarakatan. Muhammadiyyah pun terbelah. Tak mudah memang, sebab mesti melalui lobi panjang. Bahkan, Muhammadiyah sampai menunda muktamar ke-41, yang mestinya diselenggarakan Februari 1984, dan akhirnya baru dilaksanakan 7-11 Desember 1985.
Tanda-tanda menerima asas tunggal Pancasila, secara terbuka, mulai tampak pada hari kedua muktamar, tanggal 8 Desember. Di pendopo Mangkunegaran, Solo, Haji A.R. Fakhruddin, Ketua PP Muhammadiyah, menyebutkan bahwa asas Pancasila itu diterima, “dengan ikhtiar”.
Dengan ikhtiar, kata Fakhruddin, “Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu berhasil, tapi tidak melanggar agama. Kami, para pimpinan, tetap bertekad menegakkan kalimah Allah di Indonesia ini. Tidak merusakkan peraturan-peraturan di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak menjual agama,” tandasnya.
Presiden Soeharto akhirnya membuka muktamar ke-41 ini. Menyebut diri sebagai orang yang pernah mengecap pendidikan Muhammadiyah, dalam pidatonya Presiden kembali menegaskan bahwa: Pancasila bukanlah tandingan agama. Pancasila bukan pengganti agama. Penegasan ini pernah diusulkan oleh PP Muhammadiyah, supaya dicantumkan dalam batang tubuh UU Organisasi Kemasyarakatan itu.
Namun ternyata pandangan petinggi Muhammadiyyah dan lebih-lebih Soeharto, bertolak belakang dengan pemahaman Buya Malik. Beliau yang kala itu menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah, mempersolakan posisi Pancasila yang dijadikan lebih tinggi dari tauhid. “Itu yang saya tolak,” katanya. Maka itu konsekuensi menerima asas tunggal bagi Buya Malik adalah kemusyrikan. Sebuah kata yang dapat menjerumuskan kepada kekafiran.
Kalau kita telaah, alasan Buya Malik memang sangat masuk akal. Logika sederhananya, kalau Orde Baru mengatakan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi sebuah ideologi, hal itu sama saja mengakui bahwa Pancasila lebih tinggi dari kitab suci. Dan tokoh Orde Baru lebih tinggi daripada Nabi. Padahal, Rasululullah SAW diutus untuk mengapus Syariat-syariat Nabi sebelumnya. Maka bagaimana mungkin Soeharto menghapus Syariat Nabi Muhammad SAW. padahal dia sendiri bukan Nabi.
Asas Tunggal sendiri, kata KH. Firdaus AN, adalah hasil bikinan tiga tokoh militer yang diragukan komitmennya kepada agama. Mereka adalah Soeharto, Amir Machmud, dan Soedomo.
Rupanya, kekuatan tauhid Buya Malik memang bukan isapan jempol semata. Ketua Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia, (alm) Ahmad Soemargono sempat memiliki pengalaman tersendiri saat berguru kepada Buya Malik.
“Dari sekian guru yang paling berkesan itu adalah Buya Malik Ahmad. Kalau mendengarkan ceramahnya saya tersentuh,” ungkapnya saat diwawancara Republika.
Gogon- sapaan akrab Ahmad Soemargono- juga terkesan dengan karya tafsir Buya Malik yang bernama Tafsir Sinar. Menurutnya, kajian-kajian yang terkandung dalam tulisan beliau memiliki nilai Tauhid yang mendalam.
Segala ujian dan cobaan dalam menegakkan akidah menurut Buya Malik adalah keniscayaan bagi orang beriman. Ini adalah konsekuensi logis tentanga arti menyuarakan kebenaran dan menyingkirkan kebathilan. Dalam tulisannya yang berjudul Orientalisme di tahun 1978, Buya menulis,
“Orang-orang beriman dalam menegakkan aqidah dan ajaran Ilahi menuju keredhaan Allah; selalu mendapat rintangan, halangan dan kesulitan; baik yang nyata maupun tersembunyi; yang halus maupun yang kasar; menghadapi rayuan atau tekanan/paksaan yang datang dari orang-orang yang pandai membohong, menipu dan membingungkan; dengan menggunakan bermacam kekuatan, fasilitas dan mass media, yang berakibat langsung ataupun tidak langsung terhadap ummat Islam; sehingga banyak di antara ummat Islam yang terlalai, terlupa dan terpengaruh. Akibatnya kaum Muslimin tidak menyadari bahaya yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam; bahkan sebagian kita merasakan seolah-olah faham dan sikap yang demikian sebagai ajaran Islam yang murni.
Kini Buya sudah tiada. Ulama Kharismatik itu menyimpan torehan manis tentang arti perjuangan menegakkan pemurnian tauhid kepada Allahuta’ala. Dengan menolak pencampuran ideologi Pancasila yang jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Kapankah kembali muncul generasi Muhammadiyyah seperti Buya? Allahua’lam



sumber